Rabu, 20 Maret 2013

Cincin berlian


Suara hujan deras menderu bersama suara kendaraan yang saling berlomba. Para pedagang kocar-kacir melindungi barang-barang dagangannya. Anak-anak sekolah tak segan menyincing celananya hingga lutut dan tak beralas kaki. Ada gelandangan yang duduk diteras toko, memeluk dirinya sendiri sambil menggigil kedinginan. Rama hanya bisa tersenyum melihat suasana dibalik kaca bus itu.
Rrrrr.. Ponsel Rama bergetar disaku celananya. Ia merogohnya dan segera membuka pesan yang masuk. Cincin berlian, nama yang muncul sebagai pengirim pesan itu. Seketika jantung Rama berdegup dengan cepatnya. Tubuhnya gemetar dan bibirnya tersenyum tanpa arti.
Wa’alaikumsalam warahmatullah. InsyaAllah ana arji’u ilal Indunisi tsalatsatuasyhuurin aidhon. Limadza Ram? (baca:saya pulang ke Indonesia 3 bulan lagi. Kenapa Ram?). Isi pesan singkat itu.
Cincin berlian. Adalah makna konotasi sekaligus denotasi yang selama ini Rama perjuangkan. Pengirim pesan singkat itu adalah Saskia, gadis cantik nan sholihah yang merupakan sahabatnya saat duduk dibangku SMA. Kini, Saskia sedang menimba ilmu S2 di Al-Azhar. Saskia adalah gadis yang selama ini Rama cintai. Meskipun, Saskia tak pernah tau itu. Setelah lulus SMA hingga hari ini, Rama berjuang dengan seluruh jiwa raganya agar bisa menjadi orang sukses. Agar ia bisa membeli sebuah cincin berlian sebagai mahar pernikahan untuk Saskia. Ya, dulu saat SMA, Saskia pernah bercerita bahwa suatu hari jika ia menikah, ia ingin sekali diberikan mahar cincin berlian dari calon suaminya kelak.
La ba’sa Sas. Ma’annajah(baca:nggak papa Sas. Semoga sukses) thesisnya ya! J.
balas Rama pada Saskia dengan hati yang masih bergenderang. Hatinya terbang, jiwanya seakan melayang. Rama amat senang, akhirnya 3 bulan lagi ia bisa bertemu Saskia. Tapi, disisi lain ada kegelisahan yang mengusik hati. Ia sadar, 3 bulan bukan waktu yang lama untuk menggenapkan pundi-pundi uangnya agar bisa membeli sebuah cincin berlian.
Rama mengernyitkan dahi, berpikir keras bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang tambahan. Lalu lalang pedagang asongan dan irama musik para pengamen tak menyurutkan konsentrasinya. Ia masih berpikir dan terus berpikir....
***
“Ada apa Rama? Mari, silahkan duduk”, kata pak Rino, direktur Rama.
Rama memasuki ruang pak Rino dan duduk dikursi biru yang berada tepat didepan meja pak Rino.
“Maaf mengganggu, pak. Saya ingin meminta ijin bapak. Jika bapak mengizinkan, saya ingin mengambil lembur selama 3 bulan ke depan pak”, kata Rama sopan
“ooh, iya, boleh-boleh saja. Kalau boleh tau emang kenapa Ram? Lagi butuh uang ya?”
“iya pak..”
“mau menikah?”
“hehe, doakan saja pak”
“wah, wah, sudah ada calonnya? Yasudah, semoga lancar ya!”
“hmm, belum pak. Tapi, doakan saja. Amiin, makasih do’anya pak”.
***
Hari-hari berlalu. Rama semakin gila bekerja. Setiap hari ia melembur, berangkat jam 7 pagi, pulang jam 8 malam. Begitu seterusnya. Hingga suatu hari, ia jatuh sakit karena terlalu lelah.
“sudahlah Ram, kamu ngga usah lembur-lembur lagi. Jadi sakit begini kan?”, kata ibunya mencoba menasehati.
“tidak apa-apa ibu. Rama sakit cuman karena kehujanan kemarin, bukan karena lembur. Jadi, tidak masalah tetap ambil lembur”.
“tapi, Ram. Memang kamu nggak capek, setiap hari mburuh sperti itu. Kalau kamu memang lagi butuh uang, bilang saja sama bapak dan ibu. Kamu kan juga masih tanggung jawab bapak, ibu”.
“tidak bu. Rama ingin mandiri. Sudah, ibu jangan khawatir. Rama baik-baik saja bu”.
yowis, karepmu, le..”(baca: yausudah, terserah kamu, nak)
* * *
Rama kembali bekerja. Semangatnya bekerja tak luntur sedikitpun karena sakitnya kemarin. Setelah sehat dan diijinkan dokter untuk kembali bekerja, Rama bekerja lagi. Masih lembur. Demi cincin berlian. Ya, masih ada waktu satu setengah bulan lagi.
* * *
Penghujan usai. Mentari tunjukkan kegagahan dan wibawanya lagi. Terhegemoni, mendung dan hujanpun berlari entah kemana. Tak pernah datang lagi. Sembilan puluh senja tlah berlalu. Rama tersenyum puas melihat benda bulat yang sedang ia pegang. Benda kecil itu berkilauan. Sebuah cincin emas putih bermata berlian berhasil ia beli!
lebih berharga, dari sekedar sebuah cincin berlian,
lebih indah, dari pelangi di lorong senja
Kaulah itu, Saskia.
Saskia, I do love you, will you marry me? (baca:Saskia, aku sangat mencintaimu, maukah kau menikah denganku?)
Rama melipat kertas bertuliskan rentetan frase tersebut. Memasukkannya ke dalam kotak merah singgasana cincin berlian itu. Dadanya berdegup. Sekarang, ia akan datang menemui Saskia di restoran Classico.
* * *
Rama duduk menunggu kedatangan Saskia. Mulutnya terus berkomat-kamit, berlatih bagaimana cara memulai percakapan nanti, bagaimana cara menyatakan perasaannya nanti. Semua badannya begitu bergemetar, keringat mengucur dengan derasnya. Tapi, konsentrasinya pecah, ia benar-benar tak bisa fokus. Degup hatinya semakin cepat. “ah, payah!”, gumamnya mengutuk dirinya sendiri.
Seorang perempuan cantik nan anggun dengan gamis berwarna hijau muda bermotif tribal berpadu jilbab pasmina hijau tosca polos, datang menuju bangku Rama. Ia berjalan sambil tersenyum ke arah Rama.
Seketika Rama lupa bagaimana ia mengatur jantung. Jantungnya berdegup lebih cepat lagi, bahkan seperti hampir copot. Badannya semakin gemetar. Ada desir-desir halus, seperti kupu-kupu terbang dalam perutnya. Ada ribuan bunga tiba-tiba mekar dalam hatinya.
Sekuat tenaga, Rama mengendalikan dirinya. Menarik nafas dalam-dalam, menenangkan diri. Tak mau terlihat bodoh dihadapan perempuan itu.
“Ramaa!”, sapa Saskia dengan nada seperti tak berjumpa seribu tahun lamanya.
“hai, Saskia! Apa kabar kamu?”
“Alhamdulillah, baik Ram. Kamu?”, katanya sambil duduk dihadapan Rama.
“Alhamdulillah, baik juga”.
“Sekarang lagi sibuk apa? Udah kerja?”
Bla bla bla bla..
“oya, Ram, katanya kamu mau kasih kejutan? Emang apaan sih? Eh, aku juga punya kejutan lhoo..”
“oya? Hmm, ada deh kalau kejutanku. Kamu dulu deh, Sas. Emang apa?”
“mau tau? Ini dia! taraa...”, Saskia mengambil sebuah benda persegi empat berwarna merah jambu dari tasnya.
 “un.. undangan siapa itu, Sas?”
“nih, baca sendiri”
Rama menerima undangan itu. Tangannya bergemetar. Tiba-tiba firasatnya buruk.
Bibir Rama kelu, hatinya berputar seratus delapan puluh derajat, bak sebuah kompas yang berputar dari selatan ke utara, saat membaca nama yang terukir dengan tinta emas disampul undangan. Saskia & Andi.
“ka.. ka.. kamu mau nikah, Sas?”
“iya, Ram.. InsyaAllah, 1 bulan lagi”
“Andi juga ngasih cincin berlian?”, tanya Rama spontan
“cincin berlian? Maksudmu?”
“lhoh, bukannya dulu kamu pernah bilang Sas, pengen banget dapet mahar cincin berlian kalau pas nikah”
Saskia tertawa. “hahaha, kamu masih inget, Ram? Aku aja udah hampir lupa lho. Rama, itu kan cuman impian anak ababil alias ABG labil yang kepingin punya cincin berlian. Masa’ iya sih, harus kasih syarat calon suami: harus bisa ngasih mahar cincin berlian?!”, hahaha, Saskia tertawa lagi.
Rama tertawa getir. Melihat langit-langit. Menahan tangis.
“oiya, sekarang giliran kamu. Kamu mau kasih kejutan apa Ram?”, tanya Saskia setelah puas tertawa.
“hmmm, anu.. emmm.. emmm”.
Bibir Rama kelu. Kejutan itu adalah sebuah cincin berlian dalam saku celananya. Tapi, nyatanya, sirna sudah harapannya. Pupus semuanya. Luluh lantah.
“kejutannya ya kamu bisa ketemu aku, Sas”, Rama tersenyum getir.
“ah, yang bener?”
“haha, iya lah. Aku kan cuman pengen bikin kamu penasaran dan mau dateng kesini”
“yaaah, Rama payah! Oya, by the way kalau kamu kapan mau nikah, Ram? Udah punya calon?”
Rama membisu. Bagaimana pula ia bisa menikah. Sedangkan orang yang diharapkan sebagai mempelai wanita adalah sosok yang ada di depan matanya itu. Seperti ada milyaran pisau yang sedang mencacah-cacah hatinya. Sakit, teramat sangat. Tak tahan, kristal bening itu meleleh disudut matanya.
Saskia melihatnya dan benar-benar merasa bersalah dengan ucapannya. Ia pikir, Rama pasti tersinggung dengan kata-katanya tadi. Andaikan ia bisa mengulang waktu, ia tak akan mengeluarkan pertanyaan itu. ah, tapi, sudah terlanjur!
Hening. Suasana hening seketika. Saskia tak berani berkata lagi, apa lagi Rama yang masih sesenggukan.
“Rama, kenapa kamu nangis? ‘afwan jiddan ya Ram”, (baca:maaf banget ya, Ram) kata Saskia memecah keheningan.
“eng.. eng.. enggak papa kok Sas”.
“Ram, kamu masih ingat kan firman Allah, Qur’an Surat An-nur ayat 26? Dan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Begitu juga, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula.... kamu laki-laki yang baik Rama. Baik banget malah. Aku yakin pasti Allah menyiapkan perempuan yang terbaik buat kamu suatu saat nanti”, kata Saskia penuh kesejukan.
* * *
Tersedu, tersedan dan terisak diatas sajadah. Rama terus menangis, memohon ampun kepada Sang Pencipta. Setelah Rama menenangkan hati, kini ia menyadari kesalahan terbesarnya selama ini. Menyesal, teramat sangat. Selama ini, ia berjuang dengan niat hanya untuk sebuah cincin berlian. Hanya untuk Saskia yang belum tentu jodohnya. Dan memang benar, ia bukan jodohnya. Hanya untuk sesuatu yang fana. Padahal, ia hafal betul hadits tentang: Innamal a’malu binniyat, sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya. Jika saja, dulu tujuan dan orientasinya hanya karena Allah, Allah semata, pasti semua tak akan berakhir pilu dan sesakit ini.

“Ya Ghaffar, ampuni hamba”, rintihnya dengan linangan air mata tiada habisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur

Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...