Suara
hujan deras menderu bersama suara kendaraan yang saling berlomba. Para pedagang
kocar-kacir melindungi barang-barang
dagangannya. Anak-anak sekolah tak segan menyincing
celananya hingga lutut dan tak beralas kaki. Ada gelandangan yang duduk diteras
toko, memeluk dirinya sendiri sambil menggigil kedinginan. Rama hanya bisa
tersenyum melihat suasana dibalik kaca bus itu.
Rrrrr..
Ponsel
Rama bergetar disaku celananya. Ia merogohnya dan segera membuka pesan yang
masuk. Cincin berlian, nama yang muncul sebagai pengirim pesan itu. Seketika
jantung Rama berdegup dengan cepatnya. Tubuhnya gemetar dan bibirnya tersenyum
tanpa arti.
Wa’alaikumsalam
warahmatullah. InsyaAllah ana arji’u ilal Indunisi tsalatsatuasyhuurin aidhon.
Limadza Ram? (baca:saya pulang
ke Indonesia 3 bulan lagi. Kenapa Ram?). Isi pesan singkat itu.
Cincin berlian. Adalah makna konotasi
sekaligus denotasi yang selama ini Rama perjuangkan. Pengirim pesan singkat itu
adalah Saskia, gadis cantik nan sholihah yang merupakan sahabatnya saat duduk
dibangku SMA. Kini, Saskia sedang menimba ilmu S2 di Al-Azhar. Saskia adalah
gadis yang selama ini Rama cintai. Meskipun, Saskia tak pernah tau itu. Setelah
lulus SMA hingga hari ini, Rama berjuang dengan seluruh jiwa raganya agar bisa
menjadi orang sukses. Agar ia bisa membeli sebuah cincin berlian sebagai mahar
pernikahan untuk Saskia. Ya, dulu saat SMA, Saskia pernah bercerita bahwa suatu
hari jika ia menikah, ia ingin sekali diberikan mahar cincin berlian dari calon
suaminya kelak.
La
ba’sa Sas. Ma’annajah(baca:nggak
papa Sas. Semoga sukses) thesisnya ya! J.
balas Rama pada Saskia dengan hati yang
masih bergenderang. Hatinya terbang, jiwanya seakan melayang. Rama amat senang,
akhirnya 3 bulan lagi ia bisa bertemu Saskia. Tapi, disisi lain ada kegelisahan
yang mengusik hati. Ia sadar, 3 bulan bukan waktu yang lama untuk menggenapkan
pundi-pundi uangnya agar bisa membeli sebuah cincin berlian.
Rama mengernyitkan dahi, berpikir keras
bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang tambahan. Lalu lalang pedagang
asongan dan irama musik para pengamen tak menyurutkan konsentrasinya. Ia masih
berpikir dan terus berpikir....
***
“Ada apa Rama? Mari, silahkan duduk”,
kata pak Rino, direktur Rama.
Rama memasuki ruang pak Rino dan duduk
dikursi biru yang berada tepat didepan meja pak Rino.
“Maaf mengganggu, pak. Saya ingin
meminta ijin bapak. Jika bapak mengizinkan, saya ingin mengambil lembur selama
3 bulan ke depan pak”, kata Rama sopan
“ooh, iya, boleh-boleh saja. Kalau
boleh tau emang kenapa Ram? Lagi butuh uang ya?”
“iya pak..”
“mau menikah?”
“hehe, doakan saja pak”
“wah, wah, sudah ada calonnya? Yasudah,
semoga lancar ya!”
“hmm, belum pak. Tapi, doakan saja.
Amiin, makasih do’anya pak”.
***
Hari-hari berlalu. Rama semakin gila
bekerja. Setiap hari ia melembur, berangkat jam 7 pagi, pulang jam 8 malam. Begitu
seterusnya. Hingga suatu hari, ia jatuh sakit karena terlalu lelah.
“sudahlah Ram, kamu ngga usah
lembur-lembur lagi. Jadi sakit begini kan?”, kata ibunya mencoba menasehati.
“tidak apa-apa ibu. Rama sakit cuman karena kehujanan kemarin, bukan
karena lembur. Jadi, tidak masalah tetap ambil lembur”.
“tapi, Ram. Memang kamu nggak capek,
setiap hari mburuh sperti itu. Kalau
kamu memang lagi butuh uang, bilang saja sama bapak dan ibu. Kamu kan juga
masih tanggung jawab bapak, ibu”.
“tidak bu. Rama ingin mandiri. Sudah,
ibu jangan khawatir. Rama baik-baik saja bu”.
“yowis,
karepmu, le..”(baca: yausudah, terserah kamu, nak)
* * *
Rama kembali bekerja. Semangatnya bekerja
tak luntur sedikitpun karena sakitnya kemarin. Setelah sehat dan diijinkan
dokter untuk kembali bekerja, Rama bekerja lagi. Masih lembur. Demi cincin
berlian. Ya, masih ada waktu satu setengah bulan lagi.
* * *
Penghujan usai. Mentari tunjukkan
kegagahan dan wibawanya lagi. Terhegemoni, mendung dan hujanpun berlari entah
kemana. Tak pernah datang lagi. Sembilan puluh senja tlah berlalu. Rama tersenyum
puas melihat benda bulat yang sedang ia pegang. Benda kecil itu berkilauan. Sebuah
cincin emas putih bermata berlian berhasil ia beli!
lebih
indah, dari pelangi di lorong senja
Kaulah
itu, Saskia.
Saskia,
I do love you, will you marry me? (baca:Saskia, aku sangat mencintaimu,
maukah kau menikah denganku?)
Rama melipat kertas bertuliskan rentetan
frase tersebut. Memasukkannya ke dalam kotak merah singgasana cincin berlian
itu. Dadanya berdegup. Sekarang, ia akan datang menemui Saskia di restoran
Classico.
* * *
Rama duduk menunggu kedatangan Saskia. Mulutnya
terus berkomat-kamit, berlatih
bagaimana cara memulai percakapan nanti, bagaimana cara menyatakan perasaannya
nanti. Semua badannya begitu bergemetar, keringat mengucur dengan derasnya. Tapi,
konsentrasinya pecah, ia benar-benar tak bisa fokus. Degup hatinya semakin
cepat. “ah, payah!”, gumamnya mengutuk dirinya sendiri.
Seorang perempuan cantik nan anggun
dengan gamis berwarna hijau muda bermotif tribal berpadu jilbab pasmina hijau
tosca polos, datang menuju bangku Rama. Ia berjalan sambil tersenyum ke arah
Rama.
Seketika Rama lupa bagaimana ia
mengatur jantung. Jantungnya berdegup lebih cepat lagi, bahkan seperti hampir
copot. Badannya semakin gemetar. Ada desir-desir halus, seperti kupu-kupu
terbang dalam perutnya. Ada ribuan bunga tiba-tiba mekar dalam hatinya.
Sekuat tenaga, Rama mengendalikan
dirinya. Menarik nafas dalam-dalam, menenangkan diri. Tak mau terlihat bodoh
dihadapan perempuan itu.
“Ramaa!”, sapa Saskia dengan nada
seperti tak berjumpa seribu tahun lamanya.
“hai, Saskia! Apa kabar kamu?”
“Alhamdulillah, baik Ram. Kamu?”, katanya
sambil duduk dihadapan Rama.
“Alhamdulillah, baik juga”.
“Sekarang lagi sibuk apa? Udah kerja?”
Bla
bla bla bla..
“oya, Ram, katanya kamu mau kasih
kejutan? Emang apaan sih? Eh, aku juga punya kejutan lhoo..”
“oya? Hmm, ada deh kalau kejutanku. Kamu
dulu deh, Sas. Emang apa?”
“mau tau? Ini dia! taraa...”, Saskia
mengambil sebuah benda persegi empat berwarna merah jambu dari tasnya.
“un..
undangan siapa itu, Sas?”
“nih, baca sendiri”
Rama menerima undangan itu. Tangannya bergemetar.
Tiba-tiba firasatnya buruk.
Bibir Rama kelu, hatinya berputar
seratus delapan puluh derajat, bak sebuah kompas yang berputar dari selatan ke
utara, saat membaca nama yang terukir dengan tinta emas disampul undangan. Saskia & Andi.
“ka.. ka.. kamu mau nikah, Sas?”
“iya, Ram.. InsyaAllah, 1 bulan lagi”
“Andi juga ngasih cincin berlian?”,
tanya Rama spontan
“cincin berlian? Maksudmu?”
“lhoh, bukannya dulu kamu pernah bilang
Sas, pengen banget dapet mahar cincin berlian kalau pas nikah”
Saskia tertawa. “hahaha, kamu masih
inget, Ram? Aku aja udah hampir lupa lho. Rama, itu kan cuman impian anak
ababil alias ABG labil yang kepingin punya cincin berlian. Masa’ iya sih, harus
kasih syarat calon suami: harus bisa ngasih mahar cincin berlian?!”, hahaha,
Saskia tertawa lagi.
Rama tertawa getir. Melihat
langit-langit. Menahan tangis.
“oiya, sekarang giliran kamu. Kamu mau
kasih kejutan apa Ram?”, tanya Saskia setelah puas tertawa.
“hmmm, anu.. emmm.. emmm”.
Bibir Rama kelu. Kejutan itu adalah
sebuah cincin berlian dalam saku celananya. Tapi, nyatanya, sirna sudah
harapannya. Pupus semuanya. Luluh lantah.
“kejutannya ya kamu bisa ketemu aku,
Sas”, Rama tersenyum getir.
“haha, iya lah. Aku kan cuman pengen
bikin kamu penasaran dan mau dateng kesini”
“yaaah, Rama payah! Oya, by the way kalau kamu kapan mau nikah,
Ram? Udah punya calon?”
Rama membisu. Bagaimana pula ia bisa
menikah. Sedangkan orang yang diharapkan sebagai mempelai wanita adalah sosok
yang ada di depan matanya itu. Seperti ada milyaran pisau yang sedang
mencacah-cacah hatinya. Sakit, teramat sangat. Tak tahan, kristal bening itu
meleleh disudut matanya.
Saskia melihatnya dan benar-benar
merasa bersalah dengan ucapannya. Ia pikir, Rama pasti tersinggung dengan
kata-katanya tadi. Andaikan ia bisa mengulang waktu, ia tak akan mengeluarkan
pertanyaan itu. ah, tapi, sudah terlanjur!
Hening. Suasana hening seketika. Saskia
tak berani berkata lagi, apa lagi Rama yang masih sesenggukan.
“Rama, kenapa kamu nangis? ‘afwan jiddan ya Ram”, (baca:maaf banget
ya, Ram) kata Saskia memecah keheningan.
“eng.. eng.. enggak papa kok Sas”.
“Ram, kamu masih ingat kan firman
Allah, Qur’an Surat An-nur ayat 26? Dan perempuan yang baik untuk laki-laki
yang baik. Begitu juga, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula.... kamu
laki-laki yang baik Rama. Baik banget malah. Aku yakin pasti Allah menyiapkan
perempuan yang terbaik buat kamu suatu saat nanti”, kata Saskia penuh
kesejukan.
* * *
Tersedu, tersedan dan terisak diatas
sajadah. Rama terus menangis, memohon ampun kepada Sang Pencipta. Setelah Rama
menenangkan hati, kini ia menyadari kesalahan terbesarnya selama ini. Menyesal,
teramat sangat. Selama ini, ia berjuang dengan niat hanya untuk sebuah cincin
berlian. Hanya untuk Saskia yang belum tentu jodohnya. Dan memang benar, ia bukan
jodohnya. Hanya untuk sesuatu yang fana. Padahal, ia hafal betul hadits
tentang: Innamal a’malu binniyat, sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya.
Jika saja, dulu tujuan dan orientasinya hanya karena Allah, Allah semata, pasti
semua tak akan berakhir pilu dan sesakit ini.
“Ya Ghaffar, ampuni hamba”, rintihnya
dengan linangan air mata tiada habisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar