Selasa, 03 Desember 2024
Tulisan Lama ku, di 2017
Ada Kata yang tak sempat diucapkan Daun kepada Bunga
Ini sebuah kisah tentang sekuntum bunga yang sempat membenci daun. Menyalahkan apa yang telah daun lakukan padanya. Menaruh curiga berasas praduga tak bersalah. Sang daun hanya bergeming, tak melakukan pembelaan ataupun sebuah klarifikasi. Daun diam seribu bahasa sebab ada kata yang belum saatnya disampaikan. Sang daun menanti detik demi detik bunga kuncup itu mekar untuk mengatakan apa yang sebenarnya.
Namun, sayang, dikala sang bunga hampir saja mekar, sang daun pergi meninggalkan. Ia gugur, tak kuasa terkoyak angin yang begitu dahsyat menghujamnya. Ia gugur, oleh dahan yang tlah rapuh hingga raganya luruh. Ia gugur, dalam derit kesabaran dan pengorbanan.
Datanglah angin menghampiri bunga, berbisik menyampaikan kata yang tak sempat disampaikan daun kepadanya. Seketika bunga sesak nafas -dihujam rasa sesal, tersakiti oleh sebuah kejujuran- mengharu biru, air matanya bak hujan dimusim penghujan, begitu deras.
* * *
Cerita diatas hanyalah sebuah filosofi dari kisah nyata. Bunga itu adalah aku. Dan Bapak adalah sang daun. Dan angin? Mungkin memang makna yang sebenarnya. Terimakasih Wahai Allah Yang Maha Pengasih, telah menyampaikan pesan Bapak lewat angin, lewat senja, lewat rintik hujan, lewat pelangi nan elok, lewat kebahagiaan, lewat ujian hidup dan detak waktu yang mendewasakan :”)
Apakah hal yang membuatku marah dan kecewa kepada Bapak kala itu? Silahkan dibaca dicatatan facebook sebelumnya, yang pernah aku tulis 20 Januari 2015 lalu berjudul “Untukmu Para Calon Orang Tua”. Ah, rasanya ingin aku hapus catatan itu. tapi, biarlah seperti itu. Kita tidak bisa menghapus kesalahan masa lalu tapi bukankah kita mampu memperbaiki masa depan dengan belajar dari kesalahan? Tulisan ini menjadi jawaban dari belenggu tanyaku kala itu. Selain itu, bisa jadi, hari ini, esok atau lusa ada seseorang diluar sana yang sedang merasakan hal yang sama diposisiku kala itu. Sehingga aku berharap tulisan ini bisa membantu meruntuhkan ego dan jangan cepat menjudge orang tua kita, jangan cepat menyalahkan keadaan, jangan cepat mengeluh, jangan cepat iri dengan yang lain. Allah pasti sedang merahasiakan dan menyimpan banyak hal indah dibalik segala rasa sakit dan kesedihan kita :)
* * *
Ingat betul kala itu, aku menangis tersedu-sedu. Aku kesal, sangat kesal. Bapak melarangku banyak hal yang terlampir dalam deretan impianku. Dari mulai jurusan kuliah, universitas sampai impian menjadi studentpreneur (berbisnis saat kuliah). Kala itu, -kala aku masih menjadi bunga yang kuncup- dengan keterbatasan pemikiran dan kedewasaan aku sangat iri dengan teman-temanku yang lain, yang memiliki ayah dan ibu yang membebaskan anak-anaknya memilih tanpa didekte harus A, B dan C. Tapi itu dulu. Demi Allah, hari ini aku sangat bersyukur memiliki ayah seperti Bapak. Aku sangat mencintaimu, Pak. Maafkan aku yang dulu…
Pada kesempatan kali ini akan aku sampaikan salah satu dulu ya. (hehe besok bersambung ya yang lainnya! ) Hmmm, enaknya yang mana dulu ya? Baik, universitas dulu ya.
* * *
“Bapak, aku pengen kuliah di ITB. Aku pengen tinggal di Bandung”. (FYI dari SMP atau bahkan SD aku emang ngefans berat sama kota Bandung. Entah mengapa.)
“Tidak. Pokoknya tidak. Bapak hanya izinkan kamu kuliah di Jogja atau Solo. Besok kalau misal kamu sakit, Bapak biar nggak usah repot jauh-jauh. Langsung bisa mancal (seketika/secepatnya) jemput kamu.”
Bapak terus saja mengulang-ulang alasan itu. Aku sangat heran. Padahal aku tidak pernah punya riwayat sakit apapun. Namun hal utama yang paling dikhawatirkan adalah kesehatan. Aku mulai menaruh curiga, sepertinya Bapak memang mencari-cari alasan yang paling logis untuk menahanku disini. Aku kesal.
Aku memohon-mohon. Berkali-kali merayu, berkali-kali mengeluarkan argument untuk mengetuk restu Bapak, tapi tetap saja tidak. Bahkan aku bilang mau nekat coba-coba, siapa tau keterima. Kata Bapak: “Ya kalau keterima pun enggak bakal aku bayarin. Silahkan bayar sendiri”.
Skak mat. Aku mati kutu. Alhasil, aku pun memilih UNS dan UGM.
Aku akan cerita sedikit perjalanan kuliahku.
Alhamdulillah karena doa Bapak dan ibu yang mengetuk pintu langit, Allah memberikan “lolos” di UNS (lewat SBMPTN) dan juga UGM (lewat UM UGM).
Karena tanggal pengumuman yang tidak bebarengan, dimana pengumuman SBMPTN lebih dulu. Aku meminta Bapak untuk meregistrasi (bayar UKT) UNS terlebih dulu. Bapakpun mengiyakan. Kemudian memintaku mencari kos juga. Aku registrasi bersama temanku dn mencari kos bersma mbakku. Akhirnya setelah aku mendapatkan kos yang cocok dihati, keesokan harinya Bapak langsung ke Solo untuk DP kos.
Selang beberapa minggu, pengumuman UM UGM. Alhamdulillah lolos Kimia UGM. Galaupun melanda, sebab di UNS jurusan yang sama pula, Kimia. Singkat cerita, aku memohon-mohon kepada Bapak agar mengizinkanku di UGM saja –melepas UNS beserta UKTnya-. Cukup lama Bapak menimbang-nimbang keputusan ini. Bapak mendengar bisik-bisik tetangga, keluarga, teman Bapak yang menasehati Bapak dalam mengambil keputusan. Kemudian ingat betul, jam 11 malam, pada bulan Ramadhan Bapakpun mengabulkan permintaanku untuk kuliah di UGM. Dan Bapak bilang “Yaudah, sekarang tidur. Besok sahur, habis subuh besok kita ke Jogja, cari kosan”.
Aku mulai kuliah. Kuliah diawal begitu berat. Tapi di episode selanjutnya saja masalah jurusan. Hehehe.
Awal kuliah aku masih menyalahkan keadaan, meracau tiap malam, masih menyimpan belenggu tanya kepada Bapak, dan masih berandai-andai kalau aku kuliah di ITB. Ckckck
Padahal awal kuliah aku pulang setiap minggu, rasanya 1 minggu tidak pulang saja sudah kangen. Alay memang. Selain itu, awal kuliah aku masih belum berani membawa motor. Masih minta dibonceng Bapak, mbakku kemana-mana. Sungguh manja.
Waktu terus berjalan, semester demi semester terlewati hingga aku di penghujung semester 6. Kemudian liburan semester 6-7 adalah KKN. Taukah kamu aku KKN dimana? Bandung! Yeeaay!
Pada saat itu, bapak antara iya dan tidak. Tapi, kemudian mengiyakan dan mendukung. Akhirnya akupun KKN dibulan Juni-Agustus. (FYI selama ini aku baik-baik saja, tidak pernah sakit neko-neko selain batuk, pilek. Kekhawatiran Bapak akan kesehatanku Alhamdulillah tidak terjadi).
Ternyata saat aku KKN, tepatnya dipenghujung Ramadhan, Bapak mulai sakit. Tapi ibu dan bapak merahasiakannya. Mengatakan padaku bahwa sehat-sehat saja, agar aku di Bandung tidak kepikiran. Kemudian tibalah saatnya aku pulang KKN, sampai rumah 8 Agustus 2016. Sepi. Tak ada orang dirumah. Ternyata Bapak opname dirumah sakit, kemudian saat malam itu, Bapak pulang.
Semester 7 berjalan, semester inilah yang menuntutku untuk strong. Ya, selama bapak opname dimanapun RS nya aku ingin selalu menunggu. Saat di RS Klaten, maka aku rela PP (Pulang-Pergi) Jogja-Klaten setiap hari (udah berani bawa motor loh ya sejak semester 2 btw. wkwk). Sedangkan saat di Sardjito, aku rela tidak pernah mengunjungi lab. / menunda penelitian sementara waktu agar bisa stand by di RS. kecuali saat jam-jam kuliah.
Hingga akhirnya semester 7 berakhir dan aku mulai libur. Sebenarnya ingin rasanya aku dirumah terus menemani Bapak (Bapak sendirian karena Bapak sudah pensiun) tapi apa daya aku juga punya kewajiban penelitian. Sehingga kala itu, akupun mendedikasikan liburanku ini hanya untuk 2 hal: Lab.AIC dan dirumah bersama Bapak.
Aku suka sekali dirumah bersama Bapak pada liburan ini. Pernah suatu hari, layaknya acara tv bisa aku beri judul “sehari bersama Bapak”, hehe intinya kala itu aku bertanya banyaaak sekali hal kepada Bapak. Tentang masa mudanya, karirnya dari TU sampai jadi Kepala Sekolah, dan banyak hal tentang perjalanan hidup Bapak. Aku sangat terkesima, takzim, Bapak hebat sekali. (mungkin kapan-kapan aku bisa ceritakan).
Bapak kemudian tiba-tiba berkata padaku, “Besok kalau kamu sudah lulus, lalu kerja. Aku izinkan kamu kerja di Bandung”.
“Hah? Serius Pak?” (tau sendiri kan dulu Bapak kekeuh banget SAY NO TO Bandung. Hehe)
“Iya, beneran. Aku udah mikirin, aku kan punya teman sekarang tingganya di Cimahi sana. Nanti kamu bisa kesana tanya-tanya, terus nyari kerja disana. Kalau udah dapet kerja nanti cari kosan sekalian untuk tinggal disana”.
Bapaaaak, I love you so much, bisikku dalam hati penuh kegirangan.
Waktu pun berjalan, hingga tiba pada hari Kamis, 4 Januari lalu saat aku didepan monitor lab.AIC dengan wajah yang serius dan mencari-cari kesalahan inputku, mengapa tidak bisa running QMCF nya (hehe ini soal penelitian). Kemudian HPku bordering, ternyata kakakku yang mengabarkan bahwa kalau sudah tidak ada apa-apa aku diminta langsung pulang saja karena Bapak opname di RSI. Aku bingung, running masih error tapi aku juga pengen pulang. Kemudian, -my angel- mbak Dita, memintaku pulang saja, biar itu akan diselesaikan mbak Dita sampai bisa running.
Dari hari Kamis-Senin aku pun ingin terus bersama Bapak. Hingga akhirnya Bapak telah dipanggil Sang Khalik pada Senin Pagi jam 07.30 kala itu. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.
Inilah kata yang tak sempat disampaikan daun kepada bunga ((kala aku duduk dibangku kelas XII)):
“Wahai Putriku, aku tau pasti kamu kesal dengan keputusanku melarangmu untuk menuntut ilmu dikota yang jauhnya ratusan KM dari rumah ini. Aku tau pasti kamu kecewa karena aku meruntuhkan impian yang telah kamu bangun dengan megahnya. Maafkan aku Putriku.. Bukan maksudku mendekte dan menghalangi kebahagiaanmu. Tapi, ketahuilah bahwa setiap apa yang aku katakan itu telah aku pikirkan masak-masak jauh sebelum kamu berada dalam posisimu saat ini. Saat kamu masih sekolah, belum berpikir tentang kuliah, aku telah lebih dulu memikirkannya. Mencoba memilihkan jalan terbaik untukmu yang mana nantinya akan membuatmu bahagia, bukan hanya sesaat tapi juga selamanya.
Putriku, kamu adalah Putri bungsuku. Ku akui, kamulah yang paling memiliki cita-cita teguh dibanding kakak-kakakmu. Aku selalu mendukungmu. Ingatkah kamu saat aku mengantarkanmu mendaftarkan SMA di SMA impianmu? Kemudian selalu mengantarkanmu ujian/tes masuk SMA tersebut. Aku selalu mendoakanmu dalam doaku semoga kamu bisa diterima di SMA tersebut. Kemudian, saat kamu tidak diterima dikelas Imersi SMA tersebut, aku lah yang menjadi tiang untukmu agar tetap tegak agar pantang menyerah dan memintamu agar tetap yakin terhadap impianmu. Kemudian aku memintamu mendaftarkan lagi dikelas RSBI, mensupport baik tenaga, doa dan materi. Hingga saat itu, saat kita berdiri dijalan antara lapangan dan perpus Smansa. Kita mencari satu persatu nama siswa yang diterima. Awalnya kita tak menemukan namamu,kemudian aku memintamu mengulangi lagi. Akhirnya kita eja dan perhatikan satu demi satu secara lebih jeli. Hingga kita membaca nama di urutan nomor 50. Ada namamu disitu. Sontak kita bergembira dan berpelukan ditengah hiruk pikuk hari pengumuman. Kemudian kamu menuju kelasmu karena suara dari microfon telah memintamu untuk berkumpul.
Putriku, jika aku mengizinkanmu untuk kuliah di Bandung, maka barang tentu aku akan jarang melihatmu. Aku juga harus melepasmu, padahal saudara kita di Bandung hanya satu. Aku ragu. Ragu, wahai Putriku. Ragu, apakah kamu bisa mandiri? Apakah kamu bisa menjaga kesehatan?”
Putriku, jika memang kamu sudah bisa mandiri, aku berjanji tak sekeras ini aku menahanmu disini.
Sedangkan untuk kesehatan, aku tau kamu tak pernah memiliki riwayat sakit. Tapi bagaimana jika aku yang sakit? Ibarat daun, aku tak bisa menjajikan bahwa aku akan hijau dan segar selamanya. Bagaimana jika aku lekas menguning kemudian akhirnya gugur? Aku tau kamu masih begitu belia, seperti sekuntum bunga yang masih kuncup, indah memang, namun belum optimal keelokanmu. Aku ingin menjadi daun yang bisa selalu melindungimu dari angin topan bahkan putting beliung, aku ingin terus berusaha disisa kekuatanku untuk membantu tanaman kita ini berfotosintesis, hingga ada asupan glukosa yang mana sebagai penghasil energi sehingga kita tumbuh semakin kuat, kamupun akan bisa menjadi bunga yang mekar nantinya.
Putriku, sungguh aku melarangmu bukan karena aku terlalu keras atau jahat atau memaksakan kehendak. Tapi ini semua demi kebaikanmu. Aku ingin menjadi ayah yang bertanggung jawab, yang akan selalu menjagamu, merengkuhmu, mendengar keluh kesahmu sembari mengajarkan secara perlahan tentang arti kemandirian kepadamu. Hingga kelak kamu bisa mandiri, berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain, termasuk aku. Kemudian saat itulah aku baru bisa rela melepasmu hingga jauh.
Sungguh aku mencintaimu Putriku, tapi maafkan aku tak bisa merangkai kata seperti ibumu. Aku tak bisa meyakinkanmu seperti ibumu. Aku tak bisa menyentuh hatimu seperti ibumu. Aku laki-laki dan ibu perempuan. Ibu lebih pandai menyampaikan pesannya kepadamu, karena perempuan lebih mengedepankan perasaan. Karena itu pula mungkin sekarang ibumu juga berpihak kepadamu. Memintaku agar mengizinkan permohonanmu. Namun, maaf Putriku. Aku harus tegas. Sekali tidak tetap tidak. Aku hanya bisa mendoakanmu. Di Padang Arafah saat aku dan ibu haji lalu, aku mendoakanmu agar kamu bisa diterima di UGM. Semoga doaku, doa ibu, dan doamu mengetuk pintu langit ya Nak.
Aku sangat menyayangimu.”
Sang bunga menangis terisak mendengar angin menyampaikan pesan daun kepadanya. Tak peduli dengan isak tangis bunga, angin melanjutkan kisahnya.
Kemudian, inilah kata yang tak sempat disampaikan daun padamu sebelum Ia gugur.
“Putriku, aku bahagia kamu telah bahagia dengan Kimia dan UGM. Kebahagiaanmu jauh lebih penting dari sekedar materi. Itulah mengapa, saat itu aku mengizinkanmu ke UGM dan melepas UNS. Aku bahagia, kamu sudah tidak menaruh benci dan marah akan keputusanku kala itu. Kamu sudah mengabulkan permohonanku untuk kuliah di Jogja saja. Ternyata benar kan, Putriku? Nyatanya, karena jarak kampus dan rumah hanya 1 jam ditempuh dengan motor, kamu bisa sering-sering pulang bahkan pulang pergi dalam sehari.
Aku bahagia kini kamu tlah bisa mandiri, Putriku. Semoga kamu tetap kuat, tegak, tegar dan terus bertahan jika ada badai yang menghadang diluar sana. Aku telah menyetujui permintaanmu untuk bisa di Bandung, aku yakin kini kamu sudah berbeda dari dirimu 3,5 tahun yang dulu. Dirimu telah belajar arti kemandirian, meskipun kamu juga masih harus terus mengasahnya.
Putriku, maafkan aku tidak dapat melihatmu mekar. Melihatmu memakai toga dan duduk di GSP.
Pun juga melihat seseorang yang akan memetikmu ketika kamu sudah menjadi bunga yang mekar dengan sempurna nantinya. Aku titipkan pada ibu, restuku. Aku harap orang yang akan merawatmu adalah orang baik yang akan slalu berusaha menjaga dan melindungimu seperti aku selama ini bahkan jauh lebih baik dari aku.
Aku sudah melihat dan memberi restu menantu dan calon menantu untuk kakak-kakakmu. Tapi, jangan khawatir, meskipun aku tak bisa melihat dan memberi restu kepada calon imammu nanti, yakinlah selalu aku akan terus bersamamu. Aku tau pilihanmu pasti baik.
Jangan lupa terus mendoakanku jika aku tlah tiada. Jangan lupa akan semua pesan-pesanku kepadamu, jangan lupa pula untuk terus meningkatkan iman dan taqwa serta tidak berhenti berbuat baik hingga akhir hayat. Semoga kita bisa bertemu lagi ya, di Surga-Nya. Besok di Surga, kenalkan aku pada imammu ya :”)
Kata yang tak sempat disampaikan daun kepada bunga benar-benar menyesakkan dada bagi bunga. Bunga hanya bisa menatap nanar daun yang telah gugur dan bersatu dengan tanah.
Ia tak ingin ada bunga-bunga lain sepertinya. Itulah mengapa ia ingin menuliskan ini. Berharap bunga yang lain tak pernah menaruh curiga ataupun prasangka buruk pada sang daun yang sekarang sedang melindungi dengan caranya. Daun yang rela dibenci bunga, demi kebaikan dan kebahagiaan bunga itu sendiri.
Yuk bantu saya bacakan Al fatihah, untuk almarhum Bapak Mulyatno.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu menguatkan pundak-pundak Para Ayah dan juga calon Ayah :)
Yogyakarta, 19 Januari 2017, 01.20 WIB
Fauzi Ristikasari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur
Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...
-
Hai, aku muncul lagi. Setelah membaca tulisan salah seorang teman, aku jadi ingin menulis lagi. barangkali menulis bisa menjadi wadah untuk...
-
untukmu Perempuan Senja, semoga sempat membaca tulisan sederhana ini. Mungkin saat ini, kedua mata lentik mu sedikit memudar kecantikann...
-
Suara hujan deras menderu bersama suara kendaraan yang saling berlomba. Para pedagang kocar-kacir melindungi barang-barang dagangannya. An...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar