Jumat, 19 Oktober 2012

“Ijinkan aku melupakanmu….”

(ini cerpen lama :D..)


Rinai hujan mengguyur deras bumi pertiwi. Alunan hujan seperti membawa cerita tentang ulasan masa lalu. Hari ini 3 April 2012… tepat dua tahun, setelah kisah klimaks atau antiklimaks itu.. entahlah aku sendiri tak mengerti.. klimaks atau antiklimakskah?
Hari ini, semua telah tuntas. Perasaan yang mekar dua tahun silam, telah benar-benar hilang dan lenyap. Namun, kenangan itu, masih terperanjat dalam memori otakku.
29 Januari 2010, awal perasaan itu !
Mega merah, mulai menyapa menyambut lembayung senja yang datang. Angin semilir menyibak anak rambut dua lelaki di depan Retsi dan aku, menelisik lembut mengibarkan perlahan jilbab kami. Gemercik air sungai di pematang sawah kanan-kiri kami, memperindah senja itu.
Disini.. di pinggir sawah ini, hanya ada aku, Retsi, Kiki, dan Deni.  Retsi dengan  jilbab putih dan kaos biru langit mendesak Deni menjelaskan semuanya. Menjelaskan masalah mereka, yang aku sendiri tak tahu-menahu apa masalahnya. Namun, Deni masih saja bergeming. Membungkam, tak mau mengatakannya jika masih ada aku dan Kiki disini. Kiki, lelaki berperawakan tidak terlalu tinggi, dengan hidung mancung dan memakai kaos merah mengajakku pergi dari tempat ini. menjauh dari Retsi dan juga Deni.
“Ayo, Re! biar Retsi sama Deni disini dulu, nylesaiin masalah mereka. Ayo kita kesana!” Kiki menunjuk ujung sawah.
Aku menatap Retsi, Retsi beberapa kali mencegahku pergi. Ia ingin ditemani disini. Memegang erat tanganku. Takut, aku pergi.
“Ayo!” jawabku sambil melepaskan tangan Retsi yang semakin kuat mencengkeram pergelangan tanganku. Sambil berbisik pelan ke telinga Retsi, “Retsi, kamu harus slesaiin masalahmu. Aku harus pergi, biar Deni bisa menjelaskannya”
Tampaknya Retsi mau berkompromi kali ini, ia tersenyum tanggung, dan mengangguk. Aku bergegas menyusul Kiki yang telah memulai langkah menjauhi kami. (Ah.. sungguh jika aku ingat ini, aku menyesal telah berkhalwat, Tuhan.. L)
          Di bawah senja, dengan hiasan sedikit mendung, aku berjalan-jalan di ujung sawah. Berdua, hanya berdua. Kami sudah benar-benar jauh dari tempat Deni dan Retsi, tak bisa ku dengarkan sedikitpun pembicaraan mereka berdua. Dan.. disini aku hanya bisa berbincang dengan Kiki saja. Membicarakan banyak hal. Sudah hampir 10 menit, kami berbincang.
          “Wah, ternyata kamu asyik juga ya, Re diajak ngobrol. Tak kirain kamu orangnya pendiem.” Celetuknya, yang sedikit membuatku merasa kesal dan ganjil
          Aku manyun, sedikit ngambek dan menyahut “Lho, kok gitu?”
          “hehe, jangan marah dong! Habis kalo di kelas kamu diem aja sih.. tak kirain kamu malah nggak bisa ngomong” katanya tertawa
Aku menyerengai “sialan ! malah ngeledek! Awas ya!”
          Dia masih menertawakanku, hahaha, “ampun deh! Piss! Jangan ngambek ya!” Tersenyum menggodaku
* * *
          Malam hari, seusai senja itu. Ada beribu rasa yang tak ku mengerti. Mengusik hatiku, membuatku bagai terbang dengan sayap-sayap bidadari. Menyenangkan, menyejukkan, indah.. apa mungkin ini yang orang bilang rasanya jatuh cinta? Ah, entahlah.. dan yang pasti, raut wajahnya, senyumnya, tawanya bahkan suaranya membeku dalam benakku. Aku mendekap erat bantal ke dadaku. Tak kurasa kehagatannya diatas kasur ungu ini, tapi, kebahagiaan ini membuncah indah..
          Mulai dekat
          Aku tak ingat, kapan pertama kali aku mendapat sms-nya. Aku lupa. Sebenarnya sudah lama, jauh jauh sebelum 29 Januari. Tapi, di sms-sms sebelumnya, aku hanya berstatus “burung hantu”. Karena aku hanya ingin menyampaikan pesan Tika--
teman pondoknya dulu—sekaligus mantan pacarnya—sekaligus tetanggaku. Tika sering menitipkan surat padaku untuk disampaikan ke Kiki. Jadi, jelas sekali bukan, aku hanya dengan status “burung hantu” atau tukang poslah…
Tapi, setelah 29 Januari itu berbeda. Isi sms kita tidak membahas tentang Tika saja. Membahas banyak hal diluar content surat Tika. Hehe, bahkan aku sering curhat. 
Tak pernah aku lupakan setiap malam dimana aku menunggu HP-ku bergetar. Muncul namanya dari layar. Ya, hampir setiap malam, kita sms-an. Tak pernah telpon, hanya sms. Menurutku itu lebih seru dan mengasikkan.  ^^
Semakin hari, semakin besar dan cepat perasaan itu tumbuh. Terus tumbuh subur dalam hatiku. Bahkan, aku mulai mengharapkan kehadirannya! Oh, gawat, aku benar-benar jatuh cinta padanya! Sms-an ku terus berlanjut, bahkan saat seseorang itu datang perlahan menyesakkan dadaku. Seseorang yang selalu menceritakan bahwa ia sedang dekat dengan Kiki. 
Goresan Luka dari sahabat
Sekitar pukul 17.00, aku mulai mengayuh sepedaku menuju ke arah timur dari rumah. Setiap hari kamis, sore hari, aku mengikuti kajian nahwu shorof bersama teman-teman tetangga desa—diluar perumahan. Kajian ini hanya sedikit muridnya. Jika datang semua hanya 12 orang. Kata Fifi, dulunya banyak, tapi, karena gurunya diganti Pak Rahman, yang notabene agak galak, jadi pada keluar. Aku kurang tahu, karena aku baru menyusul mengikuti kajian ini saat aku kelas VII, padahal mereka sudah memulainya sejak SD. (aku lumayan ketinggalan banyak pelajarannya!) Beruntungnya, Fifi, sahabatku, berbaik hati, mengajariku jika aku tidak bisa. Fifi, teman mengaji juga teman SMP-ku!
* * *
Aku mengerem sepedaku tepat didepan rumah Fifi.
“Fifi…” panggilku
“iya, sebentar Re”
Tak lama, ia keluar dengan rok pink, kemeja dan jilbab putih.
“Yuk!”
Sampai dirumah tuan rumah yang digunakan mengaji, kami menunggu kedatangan pak Rahman.. dan setelah Beliau datang, kajianpun dimulai…
Bismillahi—awit asma Allah, Arrahmani—ingkang Maha Mirah, Arrahiim—ingkang Maha Asih. Bi-huruf jar, ismi-isim mufrad jar kasroh, bismi-jar majrur ta’aluq……………….
* * *
Kami selesai kajian, saat adzan maghrib berkumandang. Tapi, jika masih tanggung, Pak Rahman tetap melanjutkan kajian, dan menunda sebentar shalat magribnya. Atau kadang setelah sholat dilanjutkan lagi, kajiannya. Lalu, kami istirahat menikmati hidangan tuan rumah. Dan, disinilah. Di sesi istirahat saat kajian ini, biasanya kami (Aku dan Fifi) bercerita banyak hal. Seperti biasa, aku lebih banyak mendengarkan cerita Fifi, karena aku lebih diam, dibandingkannya. Biasanya Fifi menceritakan tentang Fahri. Teman sekelasku yang menjadi sahabatnya—malah, hampir jadian. Katanya sih, Fahri suka dia. Tapi, di penghujung senja ini, berbeda. Fifi tak membicarakan Fahri lagi. Ia mulai membicarakan Kiki. Aku menyimak ucapannya seksama.
Aku lupa, pertama kali ia membicarakan tentang apa soal Kiki. Semenjak sore itu, setiap hari kamis, ia tak pernah absen menceritakan tentang Kiki. Kiki, sosok yang masih mengisi hatiku. Dan taukah kamu? Ia selalu menggebu-gebu saat menceritakan Kiki. Terlihat jelas dari kedua bola mata itu, bahwa ia mulai mencintai Kiki… sakit benar-benar sakit. Saat ia menceritakan kedekatannya dan segala “thethe’ mbengek” tentang dia dan Kiki.
“Re, tahu nggak kemarin aku habis maen sama Kiki ke Parangtritis (salah satu tempat wisata dikotaku).”
Dadaku sesak, tapi, aku tetap berusaha memaksakan senyum dari bibirku. Takut ia curiga, takut ia mengerti perasaanku.
“oh ya? Kok bisa? ngapain? Berdua aja? ciyee”
“enggak, kita sama Retsi sama Deni, terus Tiwi sama Aan. Diajak mereka o..”
Minggu berikutnya..
“ini foto dimana fi?” Tanyaku menanyakan foto walpapernya
“oh itu, itu foto di Curug (wisata air terjun di Gunung kidul).”
“waah, sama siapa?”
“Sama Retsi-Deni (mereka pasangan baru) sama Kiki.”
Perih, perih benar mendengarnya. Belum lagi, ditambah ceritanya saat di perjalanan. Dia yang berboncengan dengan Kiki. Oh, God, I’m jealous! I’m hurt! T.T
Minggu berikutnya..
Ada foto baru lagi.. Meski, hanya di amplas. Tapi, lagi-lagi bersama Kiki !
Minggu berikutnya.. cerita berdarah-darah..
Pagi hari, di hari ahad—libur sekolahku. Mentari pagi, hangat menyapa. Awan mendung tidak berani mengusik sinarnya. Sinarnya menerobos ranting-ranting, memantul bertubruk kaca, membias indah dalam air. Pagi ini, Aku dan Fifi berencana ke rumah pak Reno, wali kelas kami, untuk meminjam raport, dan memfoto-copy nya. Untuk mendaftar ke SMA N 1 Jogjakarta (Teladan), SMA terbaik dikota kami sekaligus SMA impianku. Sepulang dari rumah pak Reno, kami berencana jalan-jalan, maen! Aku mengusulkan itu pada Fifi. Ternyata sebelumnya, dibenak Fifi juga tebesit hasrat itu! Maen!
Akhirnya kita maen ke Matahari swalayan (setelah sebelumnya bingung memilih). Masuk, melihat-lihat. Lantas, memilih membeli es krim. Dan, ingin menikmatinya di depan. Sambil melihat pemandangan luar.
Sinar mentari yang cerah pagi ini, tak kita rasakan. Atap di teras swalayan ini, melindungi kami dari panas. Ya, membuat kami nyaman, melahap es krim coklat ini.
“Fi, aku boleh Tanya?”
“Tanya apa Re? Tanya aja!”
“sebenarnya kamu itu, udah jadian belum sih sama Kiki?” (memasang wajah penasaran dan sok polos)
“mmmm, enggak”
Aku nyengir. “yang bener? Buktinya kalian sering main bareng?”
Fifi menghela nafas. Berdehem. Mulai menjawab. “tapi, kamu jangan bilang siapa-siapa ya!”
“siap, fifi !” jawabku mengedipkan mata
“sebenarnya, kemarin pas hari valentine, Kiki nembak aku…”
Ah, sakit sekali, Ya Rabb.. aku melihat langit-langit, menahan air mataku jatuh! Sungguh tidak masuk akal, jika aku menangis.
Fifi melanjutkan kalimatnya, “terus, aku nerima dia. Tapi, kita janji, nggak akan bilang kesiapapun soal hungungan ini. termasuk, anak-anak gank Rudal (nama gank sebagian teman-teman cowok kelasku). Soalnya Kiki takut, dia dimusuhi Fahri sama Ahmad.” (Menurut versi cerita si Fifi dulu, Fahri dan Ahmad, sama-sama mencintai Fifi)
Suasana senyap. Hening. Aku tak tau harus berkata apa. Perih ini menyeruak dahsyat menghujam jantungku. Lebih perih, dari hunusan pedang. Tapi, aku belum pernah terhunus pedang! Hmm, mungkin lebih perih dari sakit gigiku yang paling akut!
Fifi menatapku, melanjutkan ceritanya.
“Tapi, Re, baru sehari kita jadian itu, kata Kiki, teman-temannya gank  Rudal bersikap berbeda. Bersikap dingin, kaku sama Kiki. Kiki bingung, merasa bersalah. Mungkin pikirnya, mereka sudah tau hubungan kami. Jadi, esok harinya, aku sama Kiki memilih putus. Bagi Kiki, persahabatan dengan mereka lebih penting dari pada cintanya kepadaku”.
Aku menelan ludah. Tak bisa berkata apa-apa.
* * *
Bingung
Malam ini tak gemintang. Tak satupun bintang berkelip. Mendung. Semendung hatiku. Beribu tanya dan hipotesa menghantuiku malam ini. Aku memilih  menyendiri dari keluargaku yang sedang asyik menonton tv dilantai bawah. menangis. Aku terisak dibalik bantal. meratap luka yang tergores dalam hati. Hatiku bertanya-tanya.
“kenapa kalau udah putus, mereka masih sering banget jalan bareng?”
“apakah mereka masih saling cinta?”
“tapi, kenapa Kiki juga memberiku harapan kosong di tiap sinyal itu?”
“apakah mungkin, ia mencintaiku?”
Tuhan… aku tak bisa menjawab tanda tanya dari hatiku sendiri. Hanya Kau yang tau.. T.T
* * *
Hari hari berlalu. Aku selalu berusaha untuk melupakan bayangnya. Tapi, aku tak tak kuasa. Di setiap malam, namanya masih menghiasi layar HP-ku. Kata-kata lembutnya menyemangati saat aku sedang sedih, kata-katanya menyelamati saat aku sedang senang bahkan semua gombalannya! Ah, bodohnya aku, masih saja percaya dengan ‘harapan kosong’ ini.
Ketahuan !!
Terik matahari begitu menyengat. Panasnya seperti membakar kulit sawo matangku. Aku sedang duduk bersila dengan Retsi, Rahma, Ayu, teman-teman sekelasku untuk belajar kelompok. Sebulan lagi, kita Ujian Nasional! Kita harus mempersiapkannya dengan baik.
Siang itu, giliran tempat belajar kelompok di rumah Ayu. Cukup dekat dari rumahku. Satu-dua-tiga soal, telah kami selesaikan. Selembar-dua lembar. Akhirnya, kita memilih untuk mengakhiri belajar kelompok ini. dan, seperti biasa, setelah selesai, kami tidak langsung pulang. Kami curhat, jajan, dll. Siang itu kami memilih curhat.
“Eh, semuanya kan udah mbahas nih, siapa aja yang disukai. Sekarang tinggal giliran kamu Re!” celetuk Rahma
Retsi menyahut “iya, iya, Rere belum ngasih tau sendiri dia suka sama siapa!”
Ayu menambahkan “iya, siapa Re?” mengerutkan kening, penasaran.
“nggak ada!” aku menyerengai
“ah bohong! Ayo siapa Re? kamu curang, ah! Mau menikmati, tapi, nggal mau dinikmati” Retsi bersungut-sungut, entah apa maksudnya. Mungkin menikmati cerita mereka.
Aku menelan ludah. Terdesak! Tapi, masih tutup mulut rapat-rapat.
          “kalau nggak mau ngomong, bilang sama aku aja, Re, nanti aku nggak bilang sama sapa-sapa wes!” rayuan Retsi.
          Ayu, Rahma, nyengir. Lalu, ikut-ikutan. “Yah, Re, aku juga dikasih tau dong! Jangan Cuma Retsi!”
          Aku menunduk. Mengingat-ingat siapa yang aku cinta? (lebih tepatnya, teringat Kiki, dan teringat perih itu). Tiba-tiba saja, air mata ku tumpah tak tertahan. Ah, sial! Aku cengeng skali! Mata mereka menatap bulir-bulir putih yang menetes membasahi pipiku. kedua bola mata mereka penuh tanda tanya. Dan aku… menyesal, tak dapat mencegah air mata ini! Argggh!
“Kamu kenapa sih, Re? kok malah nangis? Ayo dong cerita sama kita. Sapa tahu kita bisa bantu” kata Retsi dengan nada berbalik seratus delapanpuluh derajat dari tadi yang bersungut-sungut. Sekarang suaranya lemah lembut, penuh perhatian.
Aku diam. Memikirkan seribu cara menghentikan desakan ini. aku tak mau menceritakan ini semua! Bukannya aku berburuk sangka, mereka akan membocorkan. Tapi, biasanya Ayu dan Rahma sering sekali keceplosan! Dan…. Jika mereka keceplosan, dan Fifi tau, bisa be-ra-be kan?! Akhirnya, aku memutuskan untuk memberi tau Retsi. Selain ia jago menyimpan rahasia, setidaknya “pemaksa ulung” ini berhenti mendesakku. Aku mengeluarkan HP-ku. Menuliskan kata K I K I. dan mengirimkan ke nomor Retsi.  2 detik setelah itu, Retsi membuka HP-nya, membaca, kemudian malah tertawa. Dasar ! lalu, menatapku sambil menahan tawa. Dan kemudian membelaku !
“Sudah-sudah, jangan ndesak Rere lagi! Kasian dia!” tersenyum ke arahku.
“hah legaaa!!!” bisikku dalam hati
Rahma memegang perutnya. “Eh, jajan yuk! Ketempat biasa. Laper nih!” memang Rahma lah badannya yang paling besar diantara kami yang slim slim. Dan parahnya, dia juga yang paling suka makan! (gimana nggak tambah gendut, coba?!)
“ayo , ayoo!” beruntung, semua menyetujui.
Sebelum berangkat, Retsi bilang “eh, aku boncengin Rere aja ya!”
Rahma, Ayu, mengangguk “manut
“Dia juga”
Akhirnya, aku membonceng Retsi. Di jalan, Retsi membahas soal tadi! Argggh, Retsi, kau membuatku malu ! >,<
“Rere, kamu beneran suka sama Kiki?”
“mmm, iya”
“sejak kapan?”
Aku galau, jujur nggak ya? Jujur saja lah.
“sejak 29 Januari itu, Si…”
“hah? Pas disawah itu?”
“iyaaa..”
“Astaga, Re.. sebenernya, dia juga!”
‘dia juga?!’ (aku bingung memikirkan katanya) “maksudmu?”
“gini, pas pulang dari sawah itu. Kiki sms aku. Dia bilang kalau seneng banget bisa ngobrol sama kamu. Sejak dia jadi anak baru di sekolah kita, dia mulai suka sama kamu. Tapi, dia nggak berani ndeketin kamu. Kamu terlalu alim katanya. Sebenernya ini rahasia, aku nggak boleh bilang ke kamu, tapi, ternyata kamu juga suka, jadi, nggak ada salahnya dong”.
jantungku berdegup-degup. Senang, tapi, ragu. Malah berbalik tak percaya. “ah, yang bener kamu Si? Nggak mungkin!”
“beneran Re! sumpah! Ngapain aku boong sama kamu?” ucapnya meyakinkan
“tapi, kenapa dia jadian sama Fifi?” suaraku parau
“Oh My God, kamu tahu dari mana?”
“aku tau semuanya, termasuk mereka yang sering maen bareng sama kamu sama Deni” nadaku semakin parau
“apaaa? Kiki cerita sama kamu soal itu?”
“bukan Kiki, tapi, Fifi”
“oh, my dear, sabar ya… ternyata itu yang buat kamu nangis tadi!”
Aku diam. Senyap. Aku yakin Retsi tau,  dengan diamku ini, berarti “iya”…
* * *
Tak punya muka!
Hari-hari berlalu pelan. Sepelan persaan ini. hanya bisa merangkak pelan. Aku tak bisa membuat perasaan ini berlari bahkan menghilang dari hatiku. Tapi, perih ini menancap dalam di ulung hati. Fifi, masih saja sering bercerita ini-itu tentang Kiki.. aku semakin terkapar luka.
Aku lebih senang menyendiri diatas sajadah, menenangkan hatiku. Menangis. Mengadu pada-Nya.. dan, Allah mengirimkan malaikatnya. Malaikat itu, Retsi sahabatku. Ia selalu menenangkan dan memberiku semangat. Mendengarkan keluh kesah perih ini. sehari-dua hari-seminggu-dua minggu.. akhirnya, Retsi tak tahan.. ia meminta ijin padaku untuk menceritakan semuanya pada Kiki. Kiki yang notabene juga sahabat Retsi. Aku menolak mentah-mentah! Malu lah! Tak punya muka nanti aku, dihadapannya…
“Rere, maaf… aku udah cerita semua ke Kiki. Soal perasaanmu selama in, soal perihmu selama ini..” itulah isi pesan singkat Retsi pada suatu sore.
Aku terpenjarat! Kaget! Bingung! Speechless! Tak bisa berkata apapun.. Tuhan, aku tak punya muka! T.T
Aku mengutuk Retsi, marah-marah, mengomel, semuanya!
Menebus Kesalahan
Esok hari, setelah pesan singkat Retsi, disekolah, Retsi menyeretku. Mencari “tempat aman” untuk brbincang empat mata saja. Aku yang merasa tak punya muka lagi, nyengir, dan masih ngambek  sama Retsi.
“heh, jangan nyengir dulu dong! Maaf deh Re… aku tuh cuman nggak mau, kamu sedih melulu. Biar semua jelas, biar dia tau” ucapnya merayu, meminta maaf
Aku diam sejenak, berpikir, untuk memaafkan sajalah. Lagian niat dia baik juga sih…
“oke deh, tak maafin”
Retsi tersenyum manis, terlihat gigi gingsulnya yang manis sama seperti Kiki.
“gini Re, kemarin waktu aku nyeritain semuanya ke Kiki, Kiki malah merasa bersalaaaah banget sama kamu. Dia pengen banget nglakuin apa aja, buat nebus kesalahannya!”
Retsi mengatur nafas sedikit, lalu melanjutkan, “Dan, tahu nggak Re, kemarin malem itu, gara-gara dia masih ngrasa bersalah banget sama kamu, dia sampe nggak bisa tidur! Itu aja sms aku, udah jam setengah satu.. katanya masih nggak bisa tidur. Dia nangis coba?! Bayangin deh, seorang Kiki, cowok gentle kaya’ gitu, bisa nangis”.
Pantas saja, tadi malam, ia mengirim SMS padaku meminta maaf, dengan emoction orang nangis! Ku balas saja, kamu tak pernah punya salah.. jadi, kenapa harus minta maaaf? Tapi, dia masih saja ngotot minta maaf lagi, minta maaf lagi.. dan lagi-lagi dengan emot : T.T ……
Aah, aku tersentuh.. hanya bisa mendesah..
* * *


Berbeda
Semenjak hari itu.. aku rasa semua berbeda. Terutama Fifi.. kini, jarang sekali bercerita tetang Kiki.. apakah Kiki yang melarangnya? Ah, entahlah! Bukan urusanku!
Dan.. semakin hari setelah itu, aku rasa sikap Kiki juga jauh berbeda. Lebih perhatian, baik, sering menggombal. Oh no! aku semakin terpana asmara! Mungkin fase inilah, yang sering orang sebut ‘pedekate’. I don’t know J
Sebatas mimpi
Bagiku, bunga-bunga seperti bersemi, tersenyum setiap hari. Meskipun bunga layu sekalipun. Aku tak tahu, apakah ini semua karena efek ‘virus merah jambu’ yang hinggap menggelora di dada.
Hingga suatu malam, 3 April 2010, Kiki memberi sebuah pesan singkat. Panjang, tak seperti biasanya. Dan, anehnya itu membuatku berdesing, menari-nari, senaaaang!!
[“Saat pertama ku dekati dirimu menuruti semua inginmu.. dan tiba waktumu tuk beri jawaban, ternyata kau anggap aku hanya teman..
Bawalah aku, kedalam mimpimu.. aku tak kan kecewakan kamu, walaupun itu semua hanyalah sebatas mimpi. Jadikan aku kekasih hatimu, aku menginginkan kamu, sungguh-sungguh merasa ku jatuh cinta……….”]
“Jadikan aku kekasih hatimu, aku menginginkan kamu, sungguh-sungguh merasa ku jatuh cinta..” aku yang belum tahu lagu itu sebelumnya, bertanya-tanya dalam hati.. benarkah?
“yang bener? Kamu nggak salah kirim ya?” jawabku
“enggak, aku beneran Re.. gimana?”
Oh Tuhan! Dia (akhirnya) menembakku! Aaa, dia juga mencintaiku? Aku melonjak-lonjak. Senang.. sesaat. Ya, sesaat, tapi kan jika aku menerimanya, bagaimana dengan Fifi?! Tidak, aku tidak ingin dibilang sahabat yang menusuk dari belakang! Tapi, Ya Rabb, aku amat mencintainya, dan inilah yang ku tunggu sejak lama….
Malam itu, aku meminta waktu, tak mau menjawabnya malam itu juga. Aku galau. Aku bingung. Aku taku egois, tapi, aku juga takut membohongi diri!
“Retsi, Kiki nembak aku.. menurutmu gimana? Tak terima nggak?” pesan singkatku pada Retsi, dan aku fordward juga pada Sekar, hanya tingal mengganti nama Retsi menjadi Sekar. Sekar—sahabatku juga Retsi, memang sudah mengetahui sebelumnya, bahwa aku mencintai Kiki.
Mereka dengan cepat, membalas. Isinya, intinya juga sama. Memberiku ucapan selamat dan menganjurkan berkata “iyaa!”
“tapi, bagaimana dengan Fifi?”
Lagi-lagi jawaban mereka sama : “tidak usah dipikirkan, toh mereka udah putus, tidak ada hubungan apa-apa lagi!”
Aku masih bingung, hingga hari berganti..
* * *
Cahaya Ilahi
Hari berganti. Kiki masih menunggu jawabanku. Aku masih galau. Aku ingin memikirkannya matang-matang. Tidak peduli teman-teman dekatku itu, mengatakan untuk menerimanya. Tapi, aku tidak boleh menjadi gadis angin-anginan. Yang menurut saja perkataan orang. Aku ingin berpikir jernih, sejernih air, seputih salju.
          Aku sholat ashar ke masjid. Langkahku gontai, masih saja galau.. setelah sholat, aku tiba-tiba teringat sebuah buku yang pernah ku beli dulu. Buku islami, berjudul Engkau Cantik, karangan DR.Hindun Abdullah Ahmad. Dengan cepat, aku mencari disela-sela rak tumpukan buku. Mencarinya hingga ku temukan. Akhirnya, ku temukan! Aku membacanya cepat, seperti metode membaca skimming. Aku mencari satu kata yang termat penting : pacaran. Dan, akhirnya ku temukan.. panjang sekali jika ku jelaskan bagaimana penjelasan pengarang mengenai pacaran dalam Islam. Yang jelas, pacaran benar-benar bukan dalam syari’at Islam, bahkan melenceng ! pacaran=mendekati zina, yang Allah murka di dalamnya. Aku sungguh tenang, hatiku menyerua lega. Seperti mendapatkan air ditengah-tengah gurun pasir. Ya, senang rasanya, Allah memberikan cahaya untukku….
Aku bergegas mengambil HP-ku dan dengan perasaan mantap MENOLAK Kiki !
Di sms, aku hanya mengatakan aku tak ingin merusak persahabatanku dengan Fifi, lagi pula persahabatan lebih menyenangkan. Aku tak menjelaskan tentang cahaya Ilahi ini, biarlah ku simpan rapat-rapat, berharap suatu saat dia juga akan mengerti tentang ini! (aku belum berani menceramahinya)
Hari-hari sulit
Semenjak aku menolaknya sore itu, kini, namanya jarang menghias layar HP-ku. Entahlah, apa karena dia sibuk, atau malah berusaha melupakan namaku dari hatinya, dari hidupnya. Tapi, aku malah bersyukur (meskipun, juga terluka). Dengan begitu, aku bisa lebih focus dengan ujian nasionalku dengan ujian masuk SMA Teladan !
Hari-hari berlalu. Aku masih sering menunggu HP-ku bergetar, memunculkan namanya. Namun, enyah! Hanya harap yang tak urung nyata! Dia memang benar-benar melupakanku… mungkin, bersama Fifi lagi! Mungkin!
Akhirnya dengan perjuangan beratku, dan pasti atas izin-Nya. Aku diterima di SMA Teladan. Alhamdulillah! Dan dia, masuk di Padmanaba. Keren juga. Hehe.
* * *
Akhir segalanya
Satu-dua-tiga hari.. satu-dua-tiga-empat-lima bulan.. satu tahun.. aku masih saja terbayang bayangannya. Serpihan perasaan masih membeku dalam dada. Sebaliknya, dia disana—disekolah barunya sudah mendapatkan pacar baru! Dasar! Tapi, aku.. hah, tak ingin meniru tingkahnya, kini, aku telah mengikuti POH Al-Uswah (nama ROHIS disekolahku). Aku lebih mengerti tentang semuanya.. tentang perasaan ini, bagaimana sebaiknya disikapi. Tentang hijab ikhwan-akhwat yang harus terjaga. Dan tentang angan ini. aku harus berhenti berangan-angan dan membayangkan kehadirannya! Karena sama saja, aku berzina. Berzina dengan pikiran…

Rinai hujan telah mereda. Embun lembut menyentuh stomata daun dan membuatnya berkilau indah dibawah siluet cahaya lampu malam ini. dan.. aku tak pernah menyesal menolak orang yang amat kucintai. Bukan karena sahabatku.. tapi, demi Rabb ku Yang Maha segalanya J Terimakasih Allah, Kau tlah membuatku mengerti….  ^^



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur

Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...