Jumat, 19 Oktober 2012

MENANTI TAHUN KERAMAT

-->

Aaargh!! Macet nih!” gerutu mas Liko dibalik setir mobil.
Aku langsung melongok ke kaca depan. Kendaraan-kendaraan merayap, para pengamen dan asongan berlalu lalang, riuh bunyi klakson sebagai backsound kemacetan disudut kota Solo ini.
“yaudah, sabar aja.. Alhamdulillah yang penting oleh-olehnya udah dapet semua,” sahut ibu, tersenyum simpul.

Ku pandang wajah ibu lekat-lekat. Rentetan kisah masa lalu menembus atmosfer waktu, membeku diraut wajahnya. Melihat senyumannya, aku teringat jerih payah, kesabaran, ketawakalan dalam tiap butir do’anya selama ini. Aku berpaling menghadap kaca mobil, pemandangan diluar bagai proyektor yang menampilkan episode-episode perjuangan dan penantian ibuku 7 tahun lalu.
* * *
2005..
“bu, itu uangnya mau buat apa?” tanyaku menarik-narik baju ibuku.
Dengan cekatan ibuku mengambil rupiah demi rupiah yang terekstradisi dari celengan plastiknya yang berbentuk ayam. “Ini buat ndaftar arisan haji. Do’akan semoga ibu sama bapak bisa cepat keluar di kocokan”, jawabnya.
“amiin”, jawabku serempak dengan mbak Lena.
            Hari-hari berlalu, tiba saat yang ditunggu-tunggu tiap taunnya. Ya, pengambilan kocokan arisan haji! Nama yang keluar, bisa naik haji taun berikutnya.
            Bapak sudah siap berangkat dengan kopyah dan baju putihnya, sedang ibu dengan gamis pink bunga-bunga. Postur tubuh gemuk mereka menambah kesan semangat.
“Bismillah, do’akan ya! Semoga nama bapak sama ibu keluar!”
“amiin.. amiin.. kita do’akan dari rumah”, sahut mas Liko.
            Bapak dan ibu pulang. Bapak dengan wajah yang biasa-biasa saja, hampir tanpa ekspresi. Sedangkan ibu, wajahnya muram, pucat dan lesu.
“gimana bu?”, tanyaku penasaran
“belum”, jawabnya ibu singkat
Bapak menyahut dengan nada begitu santai, “nggak usah sedih, mungkin emang belum waktunya”.
“iya bu.. bapak bener tuh”, tambah mas Liko coba menenangkan.
            3 tahun berlalu, hasilnya masih saja nihil. Nama bapak atau ibu belum juga keluar disetiap kocokan. Tapi, do’a kita tak pernah terhenti, terutama ibuku disetiap sholat malamnya. Sekuat pohon rindang yang disapa badai, sebesar lautan yang menjadi muara sungai-sungai, mungkin harapan ibu untuk ke tanah suci lebih kuat dan lebih besar dari itu semua. Tapi, apa daya, mewujudkan impiannya tak semudah membalikkan telapak tangan.
8 Agustus 2009.. tiba saatnya “hari jawaban” lagi. Jawaban dari semua do’a dan penantian ibu. Hari ini, pengambilan kocokan lagi..
“sukses ya, pak, bu!” kataku menyemangati mereka saat mereka akan berangkat arisan haji.
Mereka hanya menjawab dengan senyuman penuh harap.
Bapak ibu pulang arisan haji. Wajah ibu sayup dan pucat lagi. Firasatku buruk!
“ibu, gimana? Dapat kocokan nggak?
Ibu hanya menggeleng lesu. Bahkan setelah itu, ia sempat tak nafsu makan. Entah sampai kapan ia menunggu penantian ini..
Setelah hari jawaban itu, 31 Agustus 2009 ibu berangkat berziarah ke walisongo bersama bapak. Pak Herman, pengusaha kaya didesaku. Saat akan berangkat, ibu dan bapak heran dengan tempat duduk mereka dibus. Nama mereka ditambah title H. dan Hj. didepannya.
“lhoh pak, kok ini H.Budi dan Hj.Siti Khadija?” Tanya ibu pada pak Herman penasaran.
Pak Herman tersenyum. “itu do’a kok bu.. sudah tidak apa-apa”.
Setelah sampai dimakam wali, ibu berdo’a, “Ya Allah, aku telah berziarah ke wali-Mu, semoga bisa berziarah ke nabi-Mu”. Do’a itu tak per pernah alpa disetiap makam para wali yang dikunjungi. Ia yakin menemui presiden harus lewat pak bupati atau gubernur dahulu. Jadi, berziarah ke makam baginda Rosul juga lewat wali-wali terlebih dahulu.
November 2009, pelepasan ibadah haji didesaku. Seperti tiap taunnya, ibu selalu datang. Tapi, perasaanya kini semakin teriris. Bertahun-tahun ia mengantar, kapan ia bisa diantar? Ia benar-benar di puncak keinginannya.
“Bu, sebenarnya saya itu ingin sekali untuk segera bisa ibadah haji”, kata ibu pada bu Herman.
“sebenarnya pak Herman mau bu, membiayai ibu dulu buat ndaftar haji. Tapi, ibu aja, nggak sama pak Budi”, katanya.
“tapi, ya bagaimana bu, kalau nggak sama muhrim itu? Jadi, gimana gitu” jawab ibu sedikit kecewa.
Pagi hari, 1 desember 2009 ibu menonton televisi dan ada berita bahwa kuota haji tahun 2012 sudah penuh. Ibu kaget terbelalak. Itu artinya penantiannya akan semakin panjang.
Hari itu juga, ada pengumuman dari Departemen Pendidikan dan Kedayaan bahwa bapak lolos sertifikasi. Alhamdulillah!
Tanpa membuang-buang waktu, 2 Desember 2009 ibu menuju ke rumah Pak Herman, menagih janjinya. Janji untuk meminjamkan uang untuk biaya ibu mendaftar haji. Dan bapak akan mendaftar haji dari uang sertifikasinya. Dan akhirnya, pak Herman langsung mengiyakan!
3 Desember 2009 adalah sebuah antiklimaks dari penantian yang panjang. Ibu dan bapak resmi menjadi calhaj. Betapa bahagianya ibu, ia berhasil masuk di kuota 2012! Mungkin jika hari berganti 1 hari saja, ia bisa berangkat 2013!
            * * *
            Waktu terus berputar seiring penantian kami. Bagiku 2012 adalah “tahun keramat”. Karena menurut isu yang beredar tahun 2012 akan terjadi kiamat. Entahlah, hanya Allah Yang Maha Tahu. Kini waktu tlah menunjuk bulan September 2012, bulan ini bapak dan ibu InsyaAllah akan berangkat ke tanah suci. Datang memenuhi undangan-Nya. 
Senja dikota Solo yang begitu semrawut tadi, tlah terganti temaram dikota Klaten yang romantis.
“Ternyata Allah itu punya rencana yang indah ya. Besok pas bapak sama ibu ninggalin kalian 40 hari, semua udah bisa mandiri. Liko udah kerja, Lena udah kuliah, dan kamu Nad, kamu dah kelas 3 SMA, nggak manja lagi kaya’ dulu”, kata ibu sambil menurunkan oleh-oleh untuk haji dari mobil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur

Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...