Selasa, 22 Desember 2015

Urgensi Pendidikan Masa Kecil


Bismillahirrahmanirrahim, izinkanlah saya mulai hari ini bertekad untuk menulis, satu hari (minimal) satu tulisan.  Entah untuk diri sendiri atau juga orang lain. Entah saya share atau untuk konsumsi pribadi. Semoga bisa istiqamah.

Sebenarnya semenjak saya mengikuti seminar pak Anwar Djaelani, 12 Desember lalu, keinginan ini menggebu. Pak Djaelani adalah seorang dosen dari Surabaya yang sangat luar biasa. Beliau sekaligus aktivis dakwah, yang setiap karya tulisan yang Beliau tulis, syarat dengan nasehat kebaikan. Karya-karya Beliau sering tembus di Koran-koran nasional. Dan taukah Anda? Setiap perjalanan Beliau selalu disertai membagi ilmu. Misalkan seperti 2 minggu yang lalu itu, Beliau sedang ada acara di Jogja, menghadiri sebuah pernikahan jam 2 siang di Jogja. Dan jadwal pesawat Beliau, sampai Jogja pagi. Sehingga masih ada waktu dari pagi-siang. Kemudian seminggu sebelum itu, Beliau langsung mengubungi mas Eka (anak FIB), meminta mas Eka untuk mengadakan seminar kepenulisan, apabila berkenan pak Djaelani ingin berbagi pengalaman. Qadarullah, Alhamdulillah Sabtu, 12 Desember lalu pun pelatihan kepenulisan diadakan d Gedung Margono FIB, didukung oleh jarsus (Jaringan khusus) Media LDF se-UGM :) begitulah sedikit kisah pak Djaelani, Masya Allah, Beliau mengatur waktu secara detail sekali, tidak mau setiap detiknya terbuang sia-sia, dan semangat dakwahnya yang luar biasa.

 Kali ini saya ingin bercerita tentang urgensi pendidikan masa kecil.

Hari ini adalah hari ibu, moment yang tepat untuk berbicara tentang anak.
Akhir-akhir ini saya sering mendapati kisah seorang ibu yang membuat miris hati saya. Bagaimana tidak? Pada hakikatnya ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya, ibu adalah pengayom yang penuh kasih sayang. Namun, tak jarang seorang ibu tega menghardik, mencerca,mengabaikan bahkan menelantarkan anak-anaknya. Ibu yang tidak sabar dalam merawat dan menjaga anaknya.
Jika pada akhirnya, karena kurangnya kasih sayang dari orangtua khususnya ibu, anak-anak pun menjadi nakal dan tak sedikit yang terjerumus pergaulan bebas saat suda besar, nauzubillahi min dzalik.. Jika  hal ini terjadi, lalu siapa yang patut disalahkan?
***

Senin, 29 Juni 2015

Aku dan Tajwid

Aku lupa kapan pertama kali aku belajar mengenal huruf hijaiyah. Kapan pertama kali mengeja a ba ta. Seingatku, pertama kali aku masuk TPA adalah saat duduk di kelas 2 MI. Saat itu, aku ikut-ikut mbak Devi (tetangga samping rumah) yang TPA di masjid An-nur.  Pertama kali masuk (jadi murid baru), langsung ke iqra’ jilid 5 (karena emang udah sampai jilid 5 dan nggak mau ngulang jilid 1 lagi). Akibatnya, aku di musuhi murid-murid lama. Haha, biasalah anak-anak,masih suka iri-iri nggak jelas. :”D

Jumat, 27 Februari 2015

Jendela Penjara

7 bulan lalu kita bertemu dalam keprihatinan. Terkurung, jeruji besi lah objek pemandangan.
Masih ingatkah kamu, saat kita bercerita tentang mimpi-mimpi. Dan berharap kan terwujud suatu hari nanti. Nanti, ketika kita bisa lepas dan menghirup udara bebas.
Kemudian kamu dan aku pun sama-sama berjuang sekuat yang kita mampu untuk mencari mentari, tempat kita bermimpi.
---
Kini, kita dipertemukan kembali, di kota yang kata orang istimewa. Kota yang mampu membekukan tawa.
Kini, kau telah bebas, menghirup udara lepas. Terhempas, melupakan semua sesak nafas.
Belum sempat aku mengucapkan selamat. Kamu telah menjadi orang hebat. Membawa semua asa mu mendekat.
Aku melihatmu menyapaku dengan wajah berseri.  Bahkan hampir saja aku tak mengenali wajahmu kembali. Ya, tak ada mendung dalam pancaran lensa matamu lagi. Aku rasa kamu sudah menemukan mentari.
Sedangkan aku?
Masih terpenjarat.
---

Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur

Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...