Aku lupa kapan pertama kali aku belajar mengenal huruf
hijaiyah. Kapan pertama kali mengeja a ba ta. Seingatku, pertama kali aku masuk
TPA adalah saat duduk di kelas 2 MI. Saat itu, aku ikut-ikut mbak Devi
(tetangga samping rumah) yang TPA di masjid An-nur. Pertama kali masuk (jadi murid baru), langsung
ke iqra’ jilid 5 (karena emang udah sampai jilid 5 dan nggak mau ngulang jilid 1 lagi). Akibatnya, aku di musuhi
murid-murid lama. Haha, biasalah anak-anak,masih suka iri-iri nggak jelas. :”D
Kemudian, ternyata guru TPA ku adalah wali kelasku di MI, bu
Siti Hidayatun.
“mbak Uzi TPA disini?”, kata bu Siti saat aku diantar ibu
berangkat TPA
Ibukupun mengiyakan dan menitipkanku pada Beliau.
Aku lupa berapa lama aku bertahan di An-nur, seingatku
sebentar sekali, tidak sampai 1 tahun. Bu Siti Hidayatun meminta ibuku untuk memindahkan
aku di sekolah sore (Madrasah Diniyah) Tempursari saja. Karena aku dari MI
(yang notabene sudah banyak dikasih ilmu agama), maka, sekolah di Tempursari lebih
cocok, karena disana akan lebih banyak ilmu yang didapat.
Singkat cerita, aku pun pindah TPA ke sekolah sore di
Tempursari :)
Di sekolah sore, aku bertemu teman-temanku MI (ya iyalah, secara
MI ku juga di Tempursari). Jadi, lebih
bahagia karena tidak perlu takut ngga ada temen. Dan disana anak-anaknya pun
lebih ramah dari pada anak-anak dikota *eh ^.^)v
Sekolah sore masuk setiap senin-jum’at. Selain belajar ngaji, juga diajarkan berbagai
macam ilmu yang mirip di MI. Dari Al-qur’an Hadits, BTA, SKI (Sejarah
Kebudayaan Islam), B.Arab, dsb.
Tahun-tahun awal, aku
masih rajin berangkat. Lalu, tahun kedua, ketiga, mulai males. Hihi, kalau hari
senin saat di sekolah pagi jadwal olahraga, nanti sorenya alasan capek sama
bapak ibu (biar bolos TPA). Terus kalau hari jum’at, karena takut qira’ah
(takut maju satu-satu), nanti aku pura-pura ketiduran saat waktu menunjukkan
jam 2 (harusnya berangkat ke TPA). Pokoknya bisa dihitunglah seminggu berangkat
TPA berapa kali.. hihihi.
Tapi, saat tes/ujian di TPA, aku selalu bisa mengerjakan. Karena
materi di MI mirip banget sama materi di TPA. Haha, jadi teman-teman pada sebel
sama aku. Nggak pernah berangkat tapi nanti waktu pembagian rapor, tibatiba
dapet rangking (mengalahkan mereka yang
rajin berangkat). Ckck, ya maap :p eh tapi pernah sih, waktu wali kelasnya agak
perhatian sama absensi, harusnya aku rangking 2 tapi karena jarang berangkat
jadi perosotin ke rangking 4 deh. L
Nah di MI dan TPA lah aku pertama kali belajar tajwid. Hayo,
udah pada tau apa itu tajwid kan?
Yap, tentang hukum-hukum bacaan di Al-qur’an.
Baiklah, sejujurnya aku dulu tidak mengerti apa guna belajar
tajwid saat pertama kali belajar. Pertama kali belajar apa itu idhar, ikhfa’,
iqlab, sampai mad, dsb aku benar-benar ngga punya bayangan itu buat apa sih? Kenapa
banyak banget macamnya? Kenapa juga hurufnya beda-beda semua? Nggak ngerti….
Maklum, saat pertama belajar kayaknya masih belum lancer-lancar
amat baca Qur’an, bahkan mungkin saat itu masih iqra’(?) ah, saya lupa. Yang jelas,
aku hanya sekedar MENGHAFAL. Tanpa mengerti maksud dan tujuan serta pemahaman. Yang
penting mah kalau keluar ujian bisa gitu aja deh.
Dan itu berjalan sampai beberapa tahun..
Di sekolah sore, teman-teman sekelas sudah pada menghilang. Katanya
udah gedhe, jadi ngga mau TPA lagi. Padahal justru di saat-saat udah tinggal
dikit yang tersisa dikelas inilah, aku semangat TPA (nggak suka bolos-bolos
lagi). Wkwk.
Semakin hari semakin tereduksi lah anak-anak dikelas. Saat itu
aku di sekolah sore kelas 5 (kelas 6 MI), masih ingat betul yang tersisa
tinggal 3 orang sekelas! Aku, Khoiriah dan Ayun. Oya, ada Bagas kadang-kadang. Yang
lain udah merasa “lulus”, jadi ngga TPA lagi. Karena tinggal sedikit inilah,
makanya kita ngajinya dikantor dan diajarin langsung sama Pak Tohir (Kepala
Sekolah TPA).
Nah disnilah saya mulai belajar apa guna tajwid..
Tidak ada materi yang beragam seperti sebelumnya. Hanya fokus
membaca Al-qur’an satu per satu dengan disimak Pak Tohir.
Masih ingat betul, saat aku membaca, banyak sekali
kesalahanku dan harus dibarengi Pak Tohir untuk membacanya agar benar.
“Mbak, kalau membaca itu nggak boleh nyolong (baca:mencuri)
ya!”
“nyolong gimana Pak?”
“Jadi, bacaan panjang pendeknya, tajwidnya, harus tepat. Kalau
salah, istilahnya saat Pak Tohir ngaji di Pondok dulu namanya nyolong”.
“Oooh.. hehehe” kami bertiga tertawa.
Mulai saat itulah aku mulai mendalami tajwid. Mulai menerapkan
kapan bacaan dibaca jelas, samar-samar, masuk dengan dengung, tidak dengan
dengung, membalik, dibaca 2 harakat, 5-6 harakat, dsb.
Menginjak SMP, aku keluar dari TPA (karena memang sudah
benar-benar lulus).
SMP, aku sekolah di sekolah Islam lagi. Hihi, jadi ketemu
beragam ilmu agama lagi. Termasuk SBTA!
Di SBTA (Seni Baca Tulis Al-Qur’an), aku diajarkan kembali
tentang tajwid, makharijul huruf, dsb. Karena aku sudah jelas dan paham saat di
penghujung MI tersebut, jadi merasa hanya tinggal mengulang-ngulang saja. Hihi,
Alhamdulillah kalau ulangan/ujian SBTA jadi sering dapet 100.
Sepertinya semangat belajar
agamaku mulai tinggi. Masih pengen belajar di TPA, tapi karena umur sudah masuk
SMP jadi ya ngga bisa lagi.. (jadi menyesel dulu sering bolos). Akhirnya, saat SMP,
aku ikutan temen SMP yang ngaji nahwi Shorof di Gading (salah satu daerah deket
rumah). Cuma modal kenal 2 orang temen, Sinta dan Alfi aku ikutan kelompok
ngaji mereka. Padahal aku nggak ngerti dasar-dasar Nahwu sama sekali. Di MI dan
TPA belum pernah diajarin paling cuma B.Arab,, tapi, Nahwu Shorof itu menurutku
atasnya B.Arab. tentang aturan kosa kata B.Arab gitu deh. Jadi kalau jago
Nahwu, pasti jago baca kitab gundul.
Guru Nahwu Shorof adalah Pak
Rohmani (bapakya mbak Tika Faizah *sang inspiratorku*). Kami belajar nahwu dari
ibris (Al-qur’an yang udah ada arti b.jawa dalam huruf arab dibawahnya), juga
dari hadits-hadits dari kitab gundul (tanpa syakal) yang dimiliki Pak Roh.
Masih ingat betul, ada sebuah
hadits yang dibahas saat kajian Nahwu tersebut. Bunyinya kurang lebih seperti
ini:
Barangsiapa membaca Al-Qur’an
secara terbata-bata, maka ia akan memperoleh 2 pahala.
Saat itu aku berpikir: “Wah,
berarti kalau aku udah lancar baca Qur’annya malah lebih sedikit ya pahalaku?”
hihihi, begitu polosnya aku..
Ternyata masih ada hadits lanjutan
yaitu kurang lebih isinya:
Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an
dengan lancar/mahir, maka besok di akhirat ia akan dikumpulkan bersama para malaikat
yang mulia lagi penuh kebaikan.
Seketika perasaan sedihku menghilang.
Aku semakin semangat untuk membaguskan dan membenarkan bacaan Al-Qur’anku. Aku ingin
belajaaar!!
Kemudian di pelajaran Al-Qur’an
Hadits, ada sebuah ayat yang diajarkan yaitu:
“Wa Rattilil Qur’anaa tartila”
(Q.S.Al-Muzamil:4)
Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil (perlahan-lahan/fasih).
Aku pun semakin semangat belajar.
Saat itu, role model di SMP adalah
Havan (teman sekelas yang udah punya
segudang piala MTQ), bacaan Qur’annya jos banget lah. Apalah apalah diri ini
._. paling tidak harus bisa mencontoh bacaan Havan yang sudah benar dan top
markotop.
SMA. Bertemu dengan teman-teman
ROMANSA (Rohis SMANSA). Meskipun banyak dari mereka yang dari SMP negeri, tapi,
bacaan Qur’annya udah kaya dari Ma’had. Ada juga sih yang dari pondok beneran..
semakin merasa “da aku mah apa atuh” :(
Di kelas XI diajarin tahsin Al-Qur’an
sama mbak Annisa Nurrohmani.. mbak Nisa ini temennya Havan (punya segudang
piala MTQ juga). Hehe, mantap abis (y)
Mbak Nisa mengajarkan tentang
makharijul Huruf yang benar. Karena selama ini masih banyak yang salah
dimasyarakat umum.
Mbak Nisa menyimak satu persatu
teman-teman dalam liqa’ tersebut. Dan disitulah saya menyadari masih banyak
pengucapan/ makharijul huruf saya yang salah.
Dari mulai huruf “ngain” dan “jim”
ku yang terlalu jawa. Hehe, harusnya ‘a, bukan nga. Ja, bukan jha. Lalu huruf
shod (pake desis-desis dimulut agak dimanyun in). huruf “kho” yang harus kotor
tidak sejernih huruf “kha”, dan lain sebagainya :3
Sayangnya, mbak Nisa kemudian
lulus tidak ada lagi penerus yang mengajari saya di kelas XII..
Masuk kuliah, di FMIPA UGM. Fakultasnya
para santri. Hehe, Fakultas yang identik dengan Pesantren. Saya bertemu dengan
teman-teman KMFM (Keluarga Muslim Fakultas MIPA). Meskipun belum pernah ikut
kelas tahsin (karena sampai sekarang belum mulai), tapi, di bangku kuliah ini saya
banyaaaak belajar tentang Qur’an. Tak hanya termotivasi dengan bacaan Qur’an teman-teman, namun lebih daari itu.
Di dunia perkuliahan aku sering
mengalami stress, tertekan, susah dan sulit menjalani hidup ini (alay). Masih ingat
betul, salah satu teman di grup WA KMFM pernah ngeshare obat hati dari segala
kesempitan hati adalah dengan banyak-banyak membaca Al-Qur’an.
Sebenarnya kalau membaca Al-Qur’an
secara rutin sudah aku lakukan, tapi, mungkin kurang banyak kuantitasnya.
Sehingga mulai sejak saat itu,
setiap aku merasa gundah gulana, stress (apalah apalah), aku menuju Al-Qur’an
untuk penyembuhan. Dan benar sekali! Al-Qur’an adalah obat. Al-Qur’an adalah
penyejuk hati. Tiadalah ketentraman selain dengan mengingat Allah ^^
Apalagi saat kita dapat menyempatkan
diri untuk membaca arti dan maknanya, sesekali tafsirnya.. Subhanallah hati
terasa sejuk. Segala kesusahan hilang dan merasa ikhlas menjalani kehidupan
ini.
Yap. Hidup memang harus dijalani
dengan ikhlas dan penuh rasa syukur, gaes! Jika memang air mata menetes karena
smua kesalahan yang kita perbuat, jadikan itu pelajaran berharga. Setidaknya kita
tahu bahwa itu salah,dan tak akan mengulanginya dimasa depan. Jangan lupa
bahagia! ^_^
Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur`an dan mengajarkannya. (HR. Al-Bukhari)
Bacalah Al-Qur’an karena ia datang pada hari kiamat sebagai pemberi
syafaat kepada para ahlinya. (H.R.Muslim)
#ngajiyuk #ngajiyuk #ngajiyuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar