Senin, 29 Juni 2015

Aku dan Tajwid

Aku lupa kapan pertama kali aku belajar mengenal huruf hijaiyah. Kapan pertama kali mengeja a ba ta. Seingatku, pertama kali aku masuk TPA adalah saat duduk di kelas 2 MI. Saat itu, aku ikut-ikut mbak Devi (tetangga samping rumah) yang TPA di masjid An-nur.  Pertama kali masuk (jadi murid baru), langsung ke iqra’ jilid 5 (karena emang udah sampai jilid 5 dan nggak mau ngulang jilid 1 lagi). Akibatnya, aku di musuhi murid-murid lama. Haha, biasalah anak-anak,masih suka iri-iri nggak jelas. :”D

Kemudian, ternyata guru TPA ku adalah wali kelasku di MI, bu Siti Hidayatun.

“mbak Uzi TPA disini?”, kata bu Siti saat aku diantar ibu berangkat TPA

Ibukupun mengiyakan dan menitipkanku pada Beliau.

Aku lupa berapa lama aku bertahan di An-nur, seingatku sebentar sekali, tidak sampai 1 tahun. Bu Siti Hidayatun meminta ibuku untuk memindahkan aku di sekolah sore (Madrasah Diniyah) Tempursari saja. Karena aku dari MI (yang notabene sudah banyak dikasih ilmu agama), maka, sekolah di Tempursari lebih cocok, karena disana akan lebih banyak ilmu yang didapat.
Singkat cerita, aku pun pindah TPA ke sekolah sore di Tempursari :) 

Di sekolah sore, aku bertemu teman-temanku MI (ya iyalah, secara MI ku juga di Tempursari).  Jadi, lebih bahagia karena tidak perlu takut ngga ada temen. Dan disana anak-anaknya pun lebih ramah dari pada anak-anak dikota *eh ^.^)v

Sekolah sore masuk setiap senin-jum’at.  Selain belajar ngaji, juga diajarkan berbagai macam ilmu yang mirip di MI. Dari Al-qur’an Hadits, BTA, SKI (Sejarah Kebudayaan Islam), B.Arab, dsb.

 Tahun-tahun awal, aku masih rajin berangkat. Lalu, tahun kedua, ketiga, mulai males. Hihi, kalau hari senin saat di sekolah pagi jadwal olahraga, nanti sorenya alasan capek sama bapak ibu (biar bolos TPA). Terus kalau hari jum’at, karena takut qira’ah (takut maju satu-satu), nanti aku pura-pura ketiduran saat waktu menunjukkan jam 2 (harusnya berangkat ke TPA). Pokoknya bisa dihitunglah seminggu berangkat TPA berapa kali.. hihihi.

Tapi, saat tes/ujian di TPA, aku selalu bisa mengerjakan. Karena materi di MI mirip banget sama materi di TPA. Haha, jadi teman-teman pada sebel sama aku. Nggak pernah berangkat tapi nanti waktu pembagian rapor, tibatiba dapet rangking  (mengalahkan mereka yang rajin berangkat). Ckck, ya maap :p eh tapi pernah sih, waktu wali kelasnya agak perhatian sama absensi, harusnya aku rangking 2 tapi karena jarang berangkat jadi perosotin ke rangking 4 deh. L

Nah di MI dan TPA lah aku pertama kali belajar tajwid. Hayo, udah pada tau apa itu tajwid kan?

Yap, tentang hukum-hukum bacaan di Al-qur’an.

Baiklah, sejujurnya aku dulu tidak mengerti apa guna belajar tajwid saat pertama kali belajar. Pertama kali belajar apa itu idhar, ikhfa’, iqlab, sampai mad, dsb aku benar-benar ngga punya bayangan itu buat apa sih? Kenapa banyak banget macamnya? Kenapa juga hurufnya beda-beda semua? Nggak ngerti….

Maklum, saat pertama belajar kayaknya masih belum lancer-lancar amat baca Qur’an, bahkan mungkin saat itu masih iqra’(?) ah, saya lupa. Yang jelas, aku hanya sekedar MENGHAFAL. Tanpa mengerti maksud dan tujuan serta pemahaman. Yang penting mah kalau keluar ujian bisa gitu aja deh.

Dan itu berjalan sampai beberapa tahun..

Di sekolah sore, teman-teman sekelas sudah pada menghilang. Katanya udah gedhe, jadi ngga mau TPA lagi. Padahal justru di saat-saat udah tinggal dikit yang tersisa dikelas inilah, aku semangat TPA (nggak suka bolos-bolos lagi). Wkwk.

Semakin hari semakin tereduksi lah anak-anak dikelas. Saat itu aku di sekolah sore kelas 5 (kelas 6 MI), masih ingat betul yang tersisa tinggal 3 orang sekelas! Aku, Khoiriah dan Ayun. Oya, ada Bagas kadang-kadang. Yang lain udah merasa “lulus”, jadi ngga TPA lagi. Karena tinggal sedikit inilah, makanya kita ngajinya dikantor dan diajarin langsung sama Pak Tohir (Kepala Sekolah TPA). 

Nah disnilah saya mulai belajar apa guna tajwid..

Tidak ada materi yang beragam seperti sebelumnya. Hanya fokus membaca Al-qur’an satu per satu dengan disimak Pak Tohir.

Masih ingat betul, saat aku membaca, banyak sekali kesalahanku dan harus dibarengi Pak Tohir untuk membacanya agar benar.

“Mbak, kalau membaca itu nggak boleh nyolong (baca:mencuri) ya!”
“nyolong gimana Pak?”
“Jadi, bacaan panjang pendeknya, tajwidnya, harus tepat. Kalau salah, istilahnya saat Pak Tohir ngaji di Pondok dulu namanya nyolong”.
“Oooh.. hehehe” kami bertiga tertawa.

Mulai saat itulah aku mulai mendalami tajwid. Mulai menerapkan kapan bacaan dibaca jelas, samar-samar, masuk dengan dengung, tidak dengan dengung, membalik, dibaca 2 harakat, 5-6 harakat, dsb.
Menginjak SMP, aku keluar dari TPA (karena memang sudah benar-benar lulus).

SMP, aku sekolah di sekolah Islam lagi. Hihi, jadi ketemu beragam ilmu agama lagi. Termasuk SBTA!
Di SBTA (Seni Baca Tulis Al-Qur’an), aku diajarkan kembali tentang tajwid, makharijul huruf, dsb. Karena aku sudah jelas dan paham saat di penghujung MI tersebut, jadi merasa hanya tinggal mengulang-ngulang saja. Hihi, Alhamdulillah kalau ulangan/ujian SBTA jadi sering dapet 100.
Sepertinya semangat belajar agamaku mulai tinggi. Masih pengen belajar di TPA, tapi karena umur sudah masuk SMP jadi ya ngga bisa lagi.. (jadi menyesel dulu sering bolos). Akhirnya, saat SMP, aku ikutan temen SMP yang ngaji nahwi Shorof di Gading (salah satu daerah deket rumah). Cuma modal kenal 2 orang temen, Sinta dan Alfi aku ikutan kelompok ngaji mereka. Padahal aku nggak ngerti dasar-dasar Nahwu sama sekali. Di MI dan TPA belum pernah diajarin paling cuma B.Arab,, tapi, Nahwu Shorof itu menurutku atasnya B.Arab. tentang aturan kosa kata B.Arab gitu deh. Jadi kalau jago Nahwu, pasti jago baca kitab gundul.
Guru Nahwu Shorof adalah Pak Rohmani (bapakya mbak Tika Faizah *sang inspiratorku*). Kami belajar nahwu dari ibris (Al-qur’an yang udah ada arti b.jawa dalam huruf arab dibawahnya), juga dari hadits-hadits dari kitab gundul (tanpa syakal) yang dimiliki Pak Roh.
Masih ingat betul, ada sebuah hadits yang dibahas saat kajian Nahwu tersebut. Bunyinya kurang lebih seperti ini:
Barangsiapa membaca Al-Qur’an secara terbata-bata, maka ia akan memperoleh 2 pahala.
Saat itu aku berpikir: “Wah, berarti kalau aku udah lancar baca Qur’annya malah lebih sedikit ya pahalaku?” hihihi, begitu polosnya aku..
Ternyata masih ada hadits lanjutan yaitu kurang lebih isinya:
Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dengan lancar/mahir, maka besok di akhirat ia akan dikumpulkan bersama para malaikat yang mulia lagi penuh kebaikan.
Seketika perasaan sedihku menghilang. Aku semakin semangat untuk membaguskan dan membenarkan bacaan Al-Qur’anku. Aku ingin belajaaar!!
Kemudian di pelajaran Al-Qur’an Hadits, ada sebuah ayat yang diajarkan yaitu:
“Wa Rattilil Qur’anaa tartila” (Q.S.Al-Muzamil:4)
Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil (perlahan-lahan/fasih).
Aku pun semakin semangat belajar.
Saat itu, role model di SMP adalah Havan (teman sekelas  yang udah punya segudang piala MTQ), bacaan Qur’annya jos banget lah. Apalah apalah diri ini ._. paling tidak harus bisa mencontoh bacaan Havan yang sudah benar dan top markotop.
SMA. Bertemu dengan teman-teman ROMANSA (Rohis SMANSA). Meskipun banyak dari mereka yang dari SMP negeri, tapi, bacaan Qur’annya udah kaya dari Ma’had. Ada juga sih yang dari pondok beneran.. semakin merasa “da aku mah apa atuh” :(
Di kelas XI diajarin tahsin Al-Qur’an sama mbak Annisa Nurrohmani.. mbak Nisa ini temennya Havan (punya segudang piala MTQ juga). Hehe, mantap abis (y)
Mbak Nisa mengajarkan tentang makharijul Huruf yang benar. Karena selama ini masih banyak yang salah dimasyarakat umum.
Mbak Nisa menyimak satu persatu teman-teman dalam liqa’ tersebut. Dan disitulah saya menyadari masih banyak pengucapan/ makharijul huruf saya yang salah.
Dari mulai huruf “ngain” dan “jim” ku yang terlalu jawa. Hehe, harusnya ‘a, bukan nga. Ja, bukan jha. Lalu huruf shod (pake desis-desis dimulut agak dimanyun in). huruf “kho” yang harus kotor tidak sejernih huruf “kha”, dan lain sebagainya :3
Sayangnya, mbak Nisa kemudian lulus tidak ada lagi penerus yang mengajari saya di kelas XII..
Masuk kuliah, di FMIPA UGM. Fakultasnya para santri. Hehe, Fakultas yang identik dengan Pesantren. Saya bertemu dengan teman-teman KMFM (Keluarga Muslim Fakultas MIPA). Meskipun belum pernah ikut kelas tahsin (karena sampai sekarang belum mulai), tapi, di bangku kuliah ini saya banyaaaak belajar tentang Qur’an. Tak hanya termotivasi dengan bacaan  Qur’an teman-teman, namun lebih daari itu.
Di dunia perkuliahan aku sering mengalami stress, tertekan, susah dan sulit menjalani hidup ini (alay). Masih ingat betul, salah satu teman di grup WA KMFM pernah ngeshare obat hati dari segala kesempitan hati adalah dengan banyak-banyak membaca Al-Qur’an.
Sebenarnya kalau membaca Al-Qur’an secara rutin sudah aku lakukan, tapi, mungkin kurang banyak kuantitasnya.
Sehingga mulai sejak saat itu, setiap aku merasa gundah gulana, stress (apalah apalah), aku menuju Al-Qur’an untuk penyembuhan. Dan benar sekali! Al-Qur’an adalah obat. Al-Qur’an adalah penyejuk hati. Tiadalah ketentraman selain dengan mengingat Allah ^^
Apalagi saat kita dapat menyempatkan diri untuk membaca arti dan maknanya, sesekali tafsirnya.. Subhanallah hati terasa sejuk. Segala kesusahan hilang dan merasa ikhlas menjalani kehidupan ini.
Yap. Hidup memang harus dijalani dengan ikhlas dan penuh rasa syukur, gaes! Jika memang air mata menetes karena smua kesalahan yang kita perbuat, jadikan itu pelajaran berharga. Setidaknya kita tahu bahwa itu salah,dan tak akan mengulanginya dimasa depan. Jangan lupa bahagia! ^_^
Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur`an dan  mengajarkannya. (HR. Al-Bukhari)
Bacalah Al-Qur’an karena ia datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada para ahlinya. (H.R.Muslim)

#ngajiyuk #ngajiyuk #ngajiyuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur

Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...