Bismillahirrahmanirrahim,
izinkanlah saya mulai hari ini bertekad untuk menulis, satu hari (minimal) satu
tulisan. Entah untuk diri sendiri atau
juga orang lain. Entah saya share atau untuk konsumsi pribadi. Semoga bisa
istiqamah.
Sebenarnya semenjak saya
mengikuti seminar pak Anwar Djaelani, 12 Desember lalu, keinginan ini menggebu.
Pak Djaelani adalah seorang dosen dari Surabaya yang sangat luar biasa. Beliau sekaligus
aktivis dakwah, yang setiap karya tulisan yang Beliau tulis, syarat dengan
nasehat kebaikan. Karya-karya Beliau sering tembus di Koran-koran nasional. Dan
taukah Anda? Setiap perjalanan Beliau selalu disertai membagi ilmu. Misalkan
seperti 2 minggu yang lalu itu, Beliau sedang ada acara di Jogja, menghadiri
sebuah pernikahan jam 2 siang di Jogja. Dan jadwal pesawat Beliau, sampai Jogja
pagi. Sehingga masih ada waktu dari pagi-siang. Kemudian seminggu sebelum itu, Beliau
langsung mengubungi mas Eka (anak FIB), meminta mas Eka untuk mengadakan
seminar kepenulisan, apabila berkenan pak Djaelani ingin berbagi pengalaman.
Qadarullah, Alhamdulillah Sabtu, 12 Desember lalu pun pelatihan kepenulisan
diadakan d Gedung Margono FIB, didukung oleh jarsus (Jaringan khusus) Media LDF
se-UGM :) begitulah
sedikit kisah pak Djaelani, Masya Allah, Beliau mengatur waktu secara detail
sekali, tidak mau setiap detiknya terbuang sia-sia, dan semangat dakwahnya yang
luar biasa.
Kali ini saya ingin bercerita tentang urgensi
pendidikan masa kecil.
Hari ini adalah hari ibu, moment
yang tepat untuk berbicara tentang anak.
Akhir-akhir ini saya sering
mendapati kisah seorang ibu yang membuat miris hati saya. Bagaimana tidak? Pada
hakikatnya ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya, ibu adalah pengayom yang penuh
kasih sayang. Namun, tak jarang seorang ibu tega menghardik, mencerca,mengabaikan
bahkan menelantarkan anak-anaknya. Ibu yang tidak sabar dalam merawat dan
menjaga anaknya.
Jika pada akhirnya, karena
kurangnya kasih sayang dari orangtua khususnya ibu, anak-anak pun menjadi nakal
dan tak sedikit yang terjerumus pergaulan bebas saat suda besar, nauzubillahi
min dzalik.. Jika hal ini terjadi, lalu
siapa yang patut disalahkan?
***
“A BA TA. BA A BA, TA BA TSA”,
Noni mengeja huruf hijaiyah dengan antusias.
Hari ini masih dalam minggu
tenang, aku pun masih memilih di rumah. Dan seusai ba’da maghrib aku membantu
ibu mengajar adik-adik TPA di perumahanku..
Sudah lama sekali aku tidak
mengajar dimasjid ini.. ya, kesibukan di kampus telah menyita waktuku. Terakhir
adalah bulan Ramadhan kemarin aku bersua dengan mereka..
Kini banyak sekali wajah-wajah
baru. Termasuk Noni, gadis kecil yang sepertinya dari badannya sekitar kelas 3
SD.
“mbak Uzi, mbak Uzi, besok mbak
ngajar lagi nggak?”
“Wah, kurang tau.. mbak besok
balik ke Jogja..”
“mbak kuliah di Jogja ya? Mbak rumahnya
mana?”
“mbak rumahnya sana, tempatnya bu
Saudah”, (sambil menunjuk ibuku)
“oooh, mbak anaknya bu Saudah ya?”
“Iya, Noni..”
Noni sepertinya memang
benar-benar tetangga baru. Hehe, karena hampir semua murid TPA ibuku tau rumah
ibu.. tapi, Noni belum tau.
Noni adalah anak yang pintar,
terbukti saat semua murid TPA ditanya tentang rangking, Noni lah yang paling
tinggi rangkingnya dikelas, ia meraih rangking 3. Namun, anehnya mengapa anak
sepandai dia baru Iqra’ jilid 1? Padahal Fira (lebih kecil dari Noni) sudah
lancar baca Al Qur’annya..
Aku belum sempat bertanya kepada
Noni, takut ia tersinggung. Namun, dari ejaan bacaan Iqra’nya terlihat sekali
bahwa ia belum pernah belajar ngaji sebelumnya, ia masih merasa asing dengan
huruf-huruf hijaiyah tersebut. Meski setelah diajarkan, ia langsung paham dan
hafal. Dan Alhamdulillah semangat belajarnya pun tinggi..
Apakah dia adalah seorang mualaf?
Ataukah dari dulu orangtuanya tidak pernah mengajarkan mengaji? Apakah selama
ini ia hanya dituntut untuk baik dalam akademis umum, namun, ilmu agama
terabaikan?
Pikiran ku mulai melayang dan meraba-raba..
* * *
Wahai para ibu dan juga calon ibu
di seluruh dunia. Perkenankanlah saya, sebagai seorang muslimah pencinta
anak-anak, mengingatkan kepada saudariku..
Saudariku, bukankah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam telah menyebutkan dalam sebuah hadits bahwa ketika
kita meninggal nanti, semua kehidupan yang kita raih didunia tlah lenyap dan
hilang kecuali 3 perkara: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat serta anak sholeh
yang mendoakan kedua orang tuanya.
Mari, menjadikan Al-Qur’an dan
Hadits sebagai ilmu dasar dan ilmu yang utama untuk anak-anak kita kini (untuk
para ibu) atau kelak (untuk para calon ibu).. Jika tidak bisa mengajarkannya
sendiri, maka bawalah anak-anak ini ke TPA sedini mungkin. Kenalkan Islam,
Aqidah dan Akhlaq dari kecil.. Sebab masa kecil tak akan kembali lagi. Masa kecil
adalah masa emas seseorang yang mana ia akan menjadi bibit yang tertanam hingga
ia dewasa. Jangan hanya mengejar duniawi,
sebab dunia ini fana. Sehebat apapun kita meraih keduawian, pada akhirnya juga
tak akan kita bawa saat mati. Namun, sebaliknya jika kita persiapkan akhirat
kita, sudah pasti dunia pun kita dapatkan. Sebab tidak mungkin kita malas
belajar, padahal kita tau bahwa ilmu yang bermanfaat akan menjadi amalan yang
tak kan pernah putus. Tidak mungkin kita malas mendidik anak dengan baik, sebab
kita tau bahwa anak sholeh juga sebagai bekal saat kita telah tiada. Serta tidak
mungkin kita malas untuk bekerja dan berusaha semaximal mungkin, sebab kita tau
bahwa harta dan semua yang kita wakafkan, infaqkan dan sedekahkan di jalan
Allah adalah sebuah amal jariyah.
Pendidikan masa kecil menjadi sangat penting, agar ia bisa terbiasa dengan hal-hal yang baik sejak kecil sehingga ketika ia dewasa, ia bisa mempertahankan atau malah menambahkan kebaikan-kebaikan dalam lembar kehidupan.
Ibu yang hebat adalah ibu yang
mempersiapkan anaknya menjadi penerus bangsa yang beriman, bertaqwa, berakhlaq
serta penuh karya! Selamat menjadi ibu (dan calon) ibu yang hebat!
Klaten, 22 Desember 2015.
Farere~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar