Minggu, 30 Desember 2012

Ayahanda Pemimpin, saudara muslimin, bersyukur yuk!


Waktu sudah menunjukkan pukul 23.41 WIB. Tapi, tanganku masih asyik menari diatas keyboard. Mencoba merangkai huruf-huruf menjadi sebuah kata, kalimat, hingga menjadi deretan paragraf. Aku hanya ingin menulis. Tapi, entah tulisan ini akan menjadi apa? Menjadi sebuah artikel atau sepucuk surat atau hanya sekedar tulisan tak bermakna.
Pagi tadi, hatiku berdesir. Sedih, prihatin dan iba menyerua batinku. Saat kedua mataku membaca sebuah headline koran harian langgananku.  Benar-benar miris. Taukah Anda apakah isi berita itu? Penghasilan Warga Desa Termiskin Rp.25.500/bulan
WONOGIRI- Penghasilan penduduk Desa kerjo Lor, Kecamatan Ngadiriojo yang diklaim sebagai desa termiskin di Kabupaten Wonogiri hanya Rp.25.500/bulan. Hal itu terungkap dalam survei Dewan Riset Daerah (DRD) Wonogiri tahun 2012. (SOLOPOS, 29 Desember 2012).
25.500??!! coba sekarang Anda ambil kalkulator, handphone atau alfalink untuk menghitung, berapakah rata-rata uang yang digunakan untuk hidup satu hari? Yap, benar sekali, hanya Rp.850!
850. Seribu saja kurang. Padahal, jika kita parkir, ke kamar mandi umum, membeli es krim paling murah saja, apakah cukup dengan delapan ratus lima puluh rupiah? Tentu saja tidak. Minimal seribu rupiah, bukan?

Minggu, 16 Desember 2012

Batas Penantian



Terik mentari mulai meredup. Suhu hingga mencapai 40 derajat, benar-benar seperti membakar kulitku. Meski sweater ungu dan jilbab yang melingkar di wajahku cukup untuk melindungiku dari panasnya matahari, tapi, aku masih merasakan gerah yang luar biasa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana panas dan gerahnya Caca, teman scholarshipku yang juga dari Indonesia, dengan hot pen dan kaos oblong yang ia kenakan. Hari ini senja terakhir kami di Spanyol. Besok pagi jam 8, kami akan melaksanakan wisuda S2 kami. Dan jam 4 sore take off menuju Halim Perdana Kusuma, kembali ke tanah air tercinta.
Untuk menikmati detik-detik terakhir di negri matador ini, aku dan Caca sengaja menghabiskan hari ini dengan berjalan-jalan. Kami memilih Bernabeu stadium di Madrid dan Istana Al hambra di Granada untuk menjadi objek jalan-jalan kami. Caca yang notabene Madridista sangat ingin mengunjungi Bernabeu sebelum ia kembali ke tanah air.  Ia ingin jeprat-jepret dengan kamera SLRnya dan memamerkannya pada teman-temannya di Indonesia. Sedangkan aku, pecinta sejarah Islam, ingin sekali menikmati nuansa maghrib terakhir di Spanyol, dengan mengunjungi istana Al-Hambra. Istana yang menjadi salah satu saksi bisu kegagahan Islam di Eropa dimasa lampau. Saat Islam sebagai penerang Eropa yang masih dalam kegelapan.

Kamis, 13 Desember 2012

Dendam Rindu Mama

(Ini terinspirasi dari kisah nyata salah seorang temanku :') smoga bisa diambil hikmah)


Angin semilir menyibak anak rambutku. Aku memejamkan mata, merasakan sepoi-sepoi  sentuhannya. Ku dengar daun-daun bergumam pelan saat angin berusaha menerobos sela-selanya. Semakin lama, semakin kuat saja dengungan daun, mungkin angin menerobos lebih kuat lagi. Aku membuka  mata. Aku melongok keatas, ku lihat bintang-bintang menggodaku dengan kedipan-kedipannya. Dibawahnya, lampu-lampu kota memberikan efek siluet yang begitu indah. Inilah hal yang slalu ku damba saat pulang ke Bandung. Menikmati malam dengan memandang bintang yang bertabur diatas dan bawah. Semua berkelap-kelip, benar-benar membentuk symphoni yang indah, membuatku semakin cinta pada Sang Pencipta.  Hawa dingin yang sedari tadi menusuk ke jaringan kulitku, kini, semakin brutal saja. Aku rasa kini ia tlah berhasil sampai ke tulangku. Sebelum aku menggigil kedinginan, aku putuskan untuk masuk ke dalam rumah.

Lampu utama di lantai bawah tlah dimatikan. Suasanapun sunyi senyap seperti tak ada kehidupan lagi. Aku yakin, mama, papa, dan Tania,adikku, pasti sudah lelap tidur. Setelah beberapa langkah dari balkon, dan kira-kira 10 langkah lagi sampai dikamarku, sayup-sayup aku mendengar suara tangis! Sedikit ketakutan menyerua batinku, tapi, perlahan aku lenyapkan rasa itu dan mencoba merunut sumbernya. Aku berjalan menuju ke kamar Tania. Suara tangisan itu semakin jelas. Pintu kamarnya  setengah terbuka. Dengan berjalan mengendus-endus, aku mendekat ke pintu kamarnya.  Aku mengintip Tania, tanpa bersuara sedikitpun. Kulihat ia sedang tidur tengkurap dan menangis.  Aku melangkahkan kaki kanan berniat masuk ke kamarnya. Namun, langkahku terhenti. Aku pikir, lebih baik aku biarkan saja dia menangis, aku tau betul apa alasannya menangis. Bukan seperti anak-anak seusianya, yang menangis karena tidak dibelikan mainan baru. Mamaku pasti bisa membelikannya mainan  terbaru bahkan limited edition sekalipun. Bukan juga karena ia tak bisa mengerjakan PR-PR nya. Adikku adalah murid berprestasi dikelasnya. Menurutku, alasannya menangis karena ia sedang terguncang psikologisnya. Persis  sepertiku, 11 tahun lalu, saat masih 6 tahun sperti dia. Saat aku selalu bersembunyi dibalik bantal dan menitihkan bulir-bulir bening disusut mata ditiap malamku.
Aku berdiri tertegun melihat isak tangis Tania. Seperti sebuah cermin masa lalu. Aku melihat Tania, seperti melihat diriku sendiri. Diriku dahulu, yang belum bisa membedakan apa itu dendam dan apa itu rindu. Ya, hanya tangis yang berusaha memecah tanda tanya itu. Aku ingat semuanya...

Selasa, 11 Desember 2012

Hasbunallah wa ni'mal wakiil


Suasana hening seketika. Semua perhatian memusat disudut pintu. Tiga puluh satu pasang mata tertuju pada seorang guru dengan PSH abu-abu berpadu jilbab hitam yang kini berdiri didepan kelas.
“Maaf mengganggu sebentar, Pak.” Kata bu Lina pada Pak Doni yang sedang duduk dikursi guru.
“iya, silahkan bu..” jawab Pak Doni ramah
Bu Lina mengangkat selembar kertas putih dengan tangan kirinya, sambil memegang bolpoin ditangan kanan.
“anak-anak, ini menyangkut tes psikologi  kemarin. Akan diselenggarakan tanggal 16, setelah terima rapor. Bayarnya tetap 250 ribu. Ini saya panggil satu-satu yang kemarin ndaftar, jadi ikut apa tidak, gitu ya?”
“ya, bu..” jawab murid-murid sekelas.
Di sudut kelas,  jantung Kara tiba-tiba berdegup kencang. Ia baru sadar, ia belum izin pada bapaknya, padahal ia sudah mendaftar.  Saat itu, bapaknya masih ditanah suci, ia berencana meminta izin saat sudah pulang kemarin, tapi, lagi-lagi sifat pikunnya kumat lagi! ia benar-benar lupa membicarakan ini pada bapaknya. Alhasil, kini, ia ragu, bingung, tapi, harus memberi kepastian.
“Rafael Ananta?”  tanya bu Lina mulai memanggil satu persatu
“jadi, bu” jawab Rafael yakin.                
“aduh, gawat gimana ini?” gumam Kara dalam hati
“Saskia Tina?”
“jadi”
“Tiara Amelia?”
“jadi”
“Arya Kurniawan?”
“jadi”
...................................
“Kara Az-zahra?”

puisi terakhir

  Malam basah oleh gerimis gontai,
Nyiur, beringin pun ikut terseok
Kristal bening terus meleleh,
Tak hanya dari awan kelabu
Tapi, jua dari sudut mataku
Menyeka derai air mata, sejenak lari dari perih
ku raih buku bersampul merah
kusam, berlubang, sobekan menganga disana-sini,
 bagai buku tua dari abad sebelum masehi
yang terkubur atau jadi harta karun

Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur

Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...