Angin semilir menyibak anak
rambutku. Aku memejamkan mata, merasakan sepoi-sepoi sentuhannya. Ku dengar daun-daun bergumam
pelan saat angin berusaha menerobos sela-selanya. Semakin lama, semakin kuat saja
dengungan daun, mungkin angin menerobos lebih kuat lagi. Aku membuka mata. Aku melongok keatas, ku lihat bintang-bintang
menggodaku dengan kedipan-kedipannya. Dibawahnya, lampu-lampu kota memberikan
efek siluet yang begitu indah. Inilah hal yang slalu ku damba saat pulang ke
Bandung. Menikmati malam dengan memandang bintang yang bertabur diatas dan
bawah. Semua berkelap-kelip, benar-benar membentuk symphoni yang indah, membuatku
semakin cinta pada Sang Pencipta. Hawa
dingin yang sedari tadi menusuk ke jaringan kulitku, kini, semakin brutal saja.
Aku rasa kini ia tlah berhasil sampai ke tulangku. Sebelum aku menggigil
kedinginan, aku putuskan untuk masuk ke dalam rumah.
Lampu utama di lantai bawah tlah
dimatikan. Suasanapun sunyi senyap seperti tak ada kehidupan lagi. Aku yakin,
mama, papa, dan Tania,adikku, pasti sudah lelap tidur. Setelah beberapa langkah
dari balkon, dan kira-kira 10 langkah lagi sampai dikamarku, sayup-sayup aku
mendengar suara tangis! Sedikit ketakutan menyerua batinku, tapi, perlahan aku
lenyapkan rasa itu dan mencoba merunut sumbernya. Aku berjalan menuju ke kamar
Tania. Suara tangisan itu semakin jelas. Pintu kamarnya setengah terbuka. Dengan berjalan
mengendus-endus, aku mendekat ke pintu kamarnya. Aku mengintip Tania, tanpa bersuara
sedikitpun. Kulihat ia sedang tidur tengkurap dan menangis. Aku melangkahkan kaki kanan berniat masuk ke
kamarnya. Namun, langkahku terhenti. Aku pikir, lebih baik aku biarkan saja dia
menangis, aku tau betul apa alasannya menangis. Bukan seperti anak-anak
seusianya, yang menangis karena tidak dibelikan mainan baru. Mamaku pasti bisa
membelikannya mainan terbaru bahkan limited edition sekalipun. Bukan juga
karena ia tak bisa mengerjakan PR-PR nya. Adikku adalah murid berprestasi
dikelasnya. Menurutku, alasannya menangis karena ia sedang terguncang
psikologisnya. Persis sepertiku, 11
tahun lalu, saat masih 6 tahun sperti dia. Saat aku selalu bersembunyi dibalik
bantal dan menitihkan bulir-bulir bening disusut mata ditiap malamku.
Aku berdiri tertegun melihat isak
tangis Tania. Seperti sebuah cermin masa lalu. Aku melihat Tania, seperti
melihat diriku sendiri. Diriku dahulu, yang belum bisa membedakan apa itu
dendam dan apa itu rindu. Ya, hanya tangis yang berusaha memecah tanda tanya
itu. Aku ingat semuanya...
* * *
Aku ingat saat
pelajaran Bahasa Indonesia dulu..
“Hasyim, kelak besar kamu mau jadi apa?”,
Tanya bu Salma sembari berjalan mendekati Hasyim.
“aku
ingin jadi polisi, bu!”, katanya bersemangat.
“kalau
kamu Adit?
“hmmmm…”
adit mengernyitkankan dahi seperti sedang berburu ide, “hmmmm, apa ya?”. Ia
melongok keatas, memenggaruk-garuk rambut, tanda kebingungan. “ahaa! aku pengen
jadi dokter aja, bu!”, katanya bagai mendapat inspirasi super besar secara
tiba-tiba.
“wah..
bagus-bagus..” sahut Bu Salma lagi-lagi memuji impian murid-muridnya.
“kalau
kamu pengen jadi apa, Hesti?”
Hesti
menjawab malu-malu, “saya pengen jadi guru, seperti bu Salma”.
Bu Salma hanya tersenyum simpul mendengar
jawaban Hesti, lalu, ia berjalan maju, mendekatiku. Oh, akhirnya sekarang
giliranku!
“kalau
kamu Nadia, apa cita-citamu?”
“hmmm..
saya ingin jadi psikolog, bu”, jawab ku lirih.
Bu
Salma diam terpengarah. Polisi, dokter, guru, presiden menjadi jawaban klise murid-murid
kelas 1 SD seperti kami. Tapi, kali ini? Mungkin cita-citaku jauh dari prediksi
bu Salma.
“Psikolog? Kenapa Nadia?”, Tanya bu Salma penasaran.
“nggak
papa bu.. pokoknya saya pengen jadi psikolog!”
Bel pulang sekolahpun berdering. Murid-murid
yang baru saja merasakan seragam merah-putih itupun behamburan keluar. Ada yang
menunggu jemputan, ada yang sudah dijemput orangtua mereka, dan ada pula yang
berjalan atau naik sepeda sendiri menuju rumah masing-masing. Masih terurai
senyum di wajah polos mereka, meski mereka tlah setengah hari belajar.
“Nadia,
itu mamamu!” kata Karina sambil menunjuk sebuah mobil silver di samping gerbang
depan.
“oh
iya. Aku duluan ya kar!”
“iya,
ati-ati ya!”
Aku berlari menuju ke arah mobil
Mama. Mama yang tak lain adalah budheku. Ya, sejak bayi aku tinggal bersama
pakdhe dan budhe di Jogja. Pakdhe dan budhe belum dikaruniai buah hati saat aku
lahir. Lantas, budhe mengangkatku sebagai anak. Meski Mama dan papa tetap
tinggal di Bandung, namun, sesekali mereka mengunjungiku di Jogja, dan setiap
liburan sekolah aku “pulang kampung” ke Bandung. Sayangnya, jika mereka ke
Jogja, aku tak pernah melihat mereka lengkap. Kadang papa, kadang mama, tak
pernah keduanya secara bersamaan. Karena kesibukan orangtuaku di Bandung yang
memaksa keadaan menjadi seperti itu.
Aku
membuka pintu mobil, “Mama..!”
“halo,
sayang.. eh, ayo buruan pulang. Ada tamu
spesial lhoo..”
“siapa
Ma?”
“kasih
tau nggak ya? Haha, nanti lihat aja”.
Sampai
dirumah, aku melihat seseorang bermata biru, berkulit putih, mengenakan kaos
biru dan celana jeans pendek sedang duduk diruang tamu sambil membaca majalah.
“Mamaa...!”
teriakku sambil berlari lalu memeluknya.
Aku memang telah diberi pengertian
sejak kecil, bahwa aku punya mama 2 dan papa 2. Dan aku pun tau siapa mama dan
papa kandungku itu..
“halo,
Nadia.. ini mama bawa mainan baru buat kamu lhoo. Nanti kita jalan-jalan ya!”
kata mama sambil memberikan 1 set boneka barbie padaku.
Aku
selalu bahagia saat mama atau papa ke Jogja, karena mereka selalu membelikan
mainan baru atau mengajakku berjalan-jalan. Karena itulah aku selalu menunggu
kehadiran mereka. Padahal, jari tanganku yang sepuluh ini, masih sisa jika
untuk menghitung kedatangan mereka setiap tahunnya.
#
# #
Aku masih ingat
saat aku mulai mengenal rindu..
“Mama,
kok mama sama papa nggak pernah kesini sih?” tanyaku pada budhe.
“mungkin
mama baru sibuk sayang.. sebentar lagi kan, libur semester, nah, kamu bisa ke
Bandung”.
“tapi, masa’ Nadia terus yang harus kesana?
Apa mereka nggak kangen ya, sama Nadia?”
“ya,
kangen lah.. tapi, mama sama papa pasti baru sibuk”
“ah,
sibuk sibuk terus”, aku manyun dan cemberut.
#
# #
Aku masih ingat
saat liburan pertamaku semenjak masuk SD..
Aku
pulang ke Bandung sendiri. Naik pesawat dari Adisucipto dengan diantar budhe
atau pakdhe. Lalu terbang ke Husein
Sastranegara. Sampai di Husein Sastranegara aku dijemput mama dan papa. Tak
membawa apa-apa, hanya membawa rindu. Rindu yang setia bertahta di
singgasananya.
“Mamaa...!!” aku memeluk erat mama, setelah 6
bulan tak bertemu. Papa datang dan ikut memelukku.
Aku
pun pulang ke rumah Bandung, berharap rinduku bisa terobati dengan bercengkrama
bersama mama dan papa..
“mama,
ini nilai raporku! Bagus-bagus kan? Nadia dapet rangking lho dikelas.. sebagai
hadiahnya, Nadia pengen ayo kita jalan-jalan!” kataku merengek-rengek.
“wah,
bagus! Pokoknya Nadia, harus dapat nilai yang bagus! Jadi anak yang
berprestasi! hmm, mama sibuk itu sayang, kamu mainan sendiri dirumah sama mbak
Inem ya!”
“yah,
mama.. papa, ayo kita jalan-jalan!” aku berpindah merengek pada papa.
“Papa
juga harus kerja dong sayang.. iya, kamu main sama mbak Inem aja..”
Ternyata
hasratku untuk mengobati rindu di Bandung tak pernah terwujud. Mereka selalu sibuk
dengan pekerjaanya. Berangkat pagi, pulang malam. Ah, ini sama saja! Aku hanya
bisa dirumah bermain dengan mbak Inem, karena posisiku saat itu masih menjadi
anak tunggal, tak punya teman bermain di Bandung..
Sinar mentari tlah memudar bahkan
hilang, dan terganti bulan dengan cahaya jingganya. Udara Bandung yang dingin
menyergapku pelan. Aku duduk ditempat tidur kamarku, masih menanti papa dan
mama pulang, lalu, mengucapkan selamat tidur padaku. Hawa dingin semakin
bertambah, dan malampun semakin larut, tapi, mama dan papa tak kunjung datang.
Aku pun berbaring untuk memutuskan tidur. Kristal bening disudut mataku,
akhirnya mencair dan mengalir cukup deras. Sesak dan pilu dalam hati, ternyata
harapanku hanya harapan kosong. Aku tak jua merasakan kasih-sayang dan
perhatian mama dan papa, tak seperti teman-teman seusiaku di SD. Aku menangis
terisak dibalik bantal.
#
# #
Aku masih ingat
saat aku mulai “dendam” pada mama..
Aku
kembali sekolah. Kembali berpisah dengan mama dan papa. Kembali menghirup hawa
panas di kota Pelajar ini..
“Assalamu’alaikum..”
ucapku turun dari mobil dan segera menuju kelas.
“wa’alaykumsalam..
hati-hati ya!”, jawab budhe dan segera melesatkan mobil menuju rumah.
Gerbang
depan sekolahku penuh dengan para orangtua yang mengantar. Aku berhenti dan mengamati mereka satu persatu.
Ada diantara mereka yang bersalaman meminta izin pada ibunya, ada juga yang
diberi uang saku dan ada juga yang diberi bekal makanan oleh ibunya. Tiba-tiba
mataku berkaca-kaca, itu semua membuatku ingat pada mama. aku tak pernah
merasakan hal yang sama seperti teman-temanku itu. Kapan aku bisa seperti itu
bersama mama? Ooh, semua terasa absurd,
dan menyesakkan dada! aku menyeka air mata
dan berlari menuju kelas.
Hari hari berlalu, mama dan papa
belum mengunjungiku lagi, setelah aku dari Bandung itu. Aku bosan menangis
karena kerinduanku, aku juga bosan marah-marah sendiri karena rindu yang
membuatku berantakan. Saat usia sekecil itu, aku masih belum mahir mengatur
emosiku.. aku merasa “dendam” pada mama.
“nadia..
ada telpon dari mama..” kata budhe dari ruang depan
“bilang
saja, Nadia baru tidur, ma..” jawabku dari kamar.
Masih terlalu kecil bagiku untuk
membedakan apakah itu dendam atau rindu pada mama yang sangat aku cintai.
#
# #
Aku ingat saat
kejadian naas itu..
Aku masih tidak mau mengangkat
telpon dari mama ataupun papa di Jogja. Hingga suatu hari, ada bunyi telepon
berdering. Budhe segera mengangkatnya.
“apaa?”
budhe tersontak kaget. “ya, aku segera kesana”, tambahnya.
“ada
apa ma?” Tanyaku.
“Mama
mu tertembak dibahunya Nad.. tadi malam ada perampok dirumah..”
“apa?
Terus mama gimana ma? Nadia ikut kesana, ya..”
“nggak
usah Nadia kamu harus sekolah. Biar mama sama papa aja. Kamu tetep disini”
“tapi, ma….”
“tapi, ma….”
“sudah,
kamu do’akan saja, semoga mama tidak apa-apa”.
Aku
menangis tersedu-sedu. Bagaimana mungkin
aku tak menangis? Saat mamaku dalam keadaan seperti itu, aku tak bisa
disampingnya.. aku hanya bisa berdo’a
dari Jogja.
Aku
langsung menelpon mama
“Gimana
keadaan mama?” Tanyaku di telpon.
“Mama
tidak apa-apa, sayang..” jawab mama membuatku lega..
“maafin
Nadia ya, ma.. selama ini nggak mau ngangkat telpon mama, dan nggak bisa ikut
ke Bandung jenguk mama..”
“iya,
nggak papa, nak”.
“Nadia
janji mulai sekarang bakal jadi anak baik yang akan ngebahagiain mama..”
“iya,
sayang”, jawab mama dengan suara parau seperti menahan tangis.
Mulai saat itu, aku belajar mengerti
keadaan dan berusaha menjadi yang terbaik untuk mama. Aku akan selalu belajar
yang rajin, agar bisa menjadi anak yang berprestasi, meskipun mama tak pernah
mau tau bagaimana perjuanganku. Tapi, aku tetap bersyukur pada-Nya,
bagaimanapun sikap mama, ia tetap mamaku yang melahirkanku dengan taruhan
nyawanya. Aku juga bersyukur, aku hidup dari keluarga yang lebih dari cukup.
Mungkin diluar sana, masih ada seseorang yang terlunta-lunta hanya untuk
mendapat sesuap nasi.
*
* *
Seribu delapan ratus detik berlalu.
Aku terbangun dari lamunan panjangku. Kini, Tania tlah terlelap tidur. Aku
berjalan memasuki kamarnya. Lalu, aku duduk di sebelahnya. Ku tarik coverbed dan ku selimutkan badannya. Ku
cium kedua keningnya. Mungkin aku lebih beruntung dari Tania, karena masih ada
pakdhe dan budhe yang menemani hari-hariku saat sekecil itu. Tapi, Tania,
yakinlah Allah tak pernah keliru memilih hamba-Nya. Allah memilih kita, karena
Allah tau, kita pasti dapat melewati ini semua dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar