Kamis, 13 Desember 2012

Dendam Rindu Mama

(Ini terinspirasi dari kisah nyata salah seorang temanku :') smoga bisa diambil hikmah)


Angin semilir menyibak anak rambutku. Aku memejamkan mata, merasakan sepoi-sepoi  sentuhannya. Ku dengar daun-daun bergumam pelan saat angin berusaha menerobos sela-selanya. Semakin lama, semakin kuat saja dengungan daun, mungkin angin menerobos lebih kuat lagi. Aku membuka  mata. Aku melongok keatas, ku lihat bintang-bintang menggodaku dengan kedipan-kedipannya. Dibawahnya, lampu-lampu kota memberikan efek siluet yang begitu indah. Inilah hal yang slalu ku damba saat pulang ke Bandung. Menikmati malam dengan memandang bintang yang bertabur diatas dan bawah. Semua berkelap-kelip, benar-benar membentuk symphoni yang indah, membuatku semakin cinta pada Sang Pencipta.  Hawa dingin yang sedari tadi menusuk ke jaringan kulitku, kini, semakin brutal saja. Aku rasa kini ia tlah berhasil sampai ke tulangku. Sebelum aku menggigil kedinginan, aku putuskan untuk masuk ke dalam rumah.

Lampu utama di lantai bawah tlah dimatikan. Suasanapun sunyi senyap seperti tak ada kehidupan lagi. Aku yakin, mama, papa, dan Tania,adikku, pasti sudah lelap tidur. Setelah beberapa langkah dari balkon, dan kira-kira 10 langkah lagi sampai dikamarku, sayup-sayup aku mendengar suara tangis! Sedikit ketakutan menyerua batinku, tapi, perlahan aku lenyapkan rasa itu dan mencoba merunut sumbernya. Aku berjalan menuju ke kamar Tania. Suara tangisan itu semakin jelas. Pintu kamarnya  setengah terbuka. Dengan berjalan mengendus-endus, aku mendekat ke pintu kamarnya.  Aku mengintip Tania, tanpa bersuara sedikitpun. Kulihat ia sedang tidur tengkurap dan menangis.  Aku melangkahkan kaki kanan berniat masuk ke kamarnya. Namun, langkahku terhenti. Aku pikir, lebih baik aku biarkan saja dia menangis, aku tau betul apa alasannya menangis. Bukan seperti anak-anak seusianya, yang menangis karena tidak dibelikan mainan baru. Mamaku pasti bisa membelikannya mainan  terbaru bahkan limited edition sekalipun. Bukan juga karena ia tak bisa mengerjakan PR-PR nya. Adikku adalah murid berprestasi dikelasnya. Menurutku, alasannya menangis karena ia sedang terguncang psikologisnya. Persis  sepertiku, 11 tahun lalu, saat masih 6 tahun sperti dia. Saat aku selalu bersembunyi dibalik bantal dan menitihkan bulir-bulir bening disusut mata ditiap malamku.
Aku berdiri tertegun melihat isak tangis Tania. Seperti sebuah cermin masa lalu. Aku melihat Tania, seperti melihat diriku sendiri. Diriku dahulu, yang belum bisa membedakan apa itu dendam dan apa itu rindu. Ya, hanya tangis yang berusaha memecah tanda tanya itu. Aku ingat semuanya...


* * *
Aku ingat saat pelajaran Bahasa Indonesia dulu..
 “Hasyim, kelak besar kamu mau jadi apa?”, Tanya bu Salma sembari berjalan mendekati Hasyim.
“aku ingin jadi polisi, bu!”, katanya bersemangat.
“kalau kamu Adit?
“hmmmm…” adit mengernyitkankan dahi seperti sedang berburu ide, “hmmmm, apa ya?”. Ia melongok keatas, memenggaruk-garuk rambut, tanda kebingungan. “ahaa! aku pengen jadi dokter aja, bu!”, katanya bagai mendapat inspirasi super besar secara tiba-tiba.
“wah.. bagus-bagus..” sahut Bu Salma lagi-lagi memuji impian murid-muridnya.
“kalau kamu pengen jadi apa, Hesti?”
Hesti menjawab malu-malu, “saya pengen jadi guru, seperti bu Salma”.
 Bu Salma hanya tersenyum simpul mendengar jawaban Hesti, lalu, ia berjalan maju, mendekatiku. Oh, akhirnya sekarang giliranku!
“kalau kamu Nadia, apa cita-citamu?”
“hmmm.. saya ingin jadi psikolog, bu”, jawab ku lirih.
Bu Salma diam terpengarah. Polisi, dokter, guru, presiden menjadi jawaban klise murid-murid kelas 1 SD seperti kami. Tapi, kali ini? Mungkin cita-citaku jauh dari prediksi bu Salma.
 “Psikolog? Kenapa Nadia?”, Tanya bu Salma penasaran.
“nggak papa bu.. pokoknya saya pengen jadi psikolog!”
Bel pulang sekolahpun berdering. Murid-murid yang baru saja merasakan seragam merah-putih itupun behamburan keluar. Ada yang menunggu jemputan, ada yang sudah dijemput orangtua mereka, dan ada pula yang berjalan atau naik sepeda sendiri menuju rumah masing-masing. Masih terurai senyum di wajah polos mereka, meski mereka tlah setengah hari belajar.
“Nadia, itu mamamu!” kata Karina sambil menunjuk sebuah mobil silver di samping gerbang depan.
“oh iya. Aku duluan ya kar!”
“iya, ati-ati ya!”
Aku berlari menuju ke arah mobil Mama. Mama yang tak lain adalah budheku. Ya, sejak bayi aku tinggal bersama pakdhe dan budhe di Jogja. Pakdhe dan budhe belum dikaruniai buah hati saat aku lahir. Lantas, budhe mengangkatku sebagai anak. Meski Mama dan papa tetap tinggal di Bandung, namun, sesekali mereka mengunjungiku di Jogja, dan setiap liburan sekolah aku “pulang kampung” ke Bandung. Sayangnya, jika mereka ke Jogja, aku tak pernah melihat mereka lengkap. Kadang papa, kadang mama, tak pernah keduanya secara bersamaan. Karena kesibukan orangtuaku di Bandung yang memaksa keadaan menjadi seperti itu.
Aku membuka pintu mobil, “Mama..!”
“halo, sayang..  eh, ayo buruan pulang. Ada tamu spesial lhoo..”
“siapa Ma?”
“kasih tau nggak ya? Haha, nanti lihat aja”.
Sampai dirumah, aku melihat seseorang bermata biru, berkulit putih, mengenakan kaos biru dan celana jeans pendek sedang duduk diruang tamu sambil membaca majalah.
“Mamaa...!” teriakku sambil berlari lalu memeluknya.
            Aku memang telah diberi pengertian sejak kecil, bahwa aku punya mama 2 dan papa 2. Dan aku pun tau siapa mama dan papa kandungku itu..
“halo, Nadia.. ini mama bawa mainan baru buat kamu lhoo. Nanti kita jalan-jalan ya!” kata mama sambil memberikan 1 set boneka barbie padaku.
Aku selalu bahagia saat mama atau papa ke Jogja, karena mereka selalu membelikan mainan baru atau mengajakku berjalan-jalan. Karena itulah aku selalu menunggu kehadiran mereka. Padahal, jari tanganku yang sepuluh ini, masih sisa jika untuk menghitung kedatangan mereka setiap tahunnya.
# # #
Aku masih ingat saat aku mulai mengenal rindu..
“Mama, kok mama sama papa nggak pernah kesini sih?” tanyaku pada budhe.
“mungkin mama baru sibuk sayang.. sebentar lagi kan, libur semester, nah, kamu bisa ke Bandung”.
“tapi, masa’ Nadia terus yang harus kesana? Apa mereka nggak kangen ya, sama Nadia?”
“ya, kangen lah.. tapi, mama sama papa pasti baru sibuk”
“ah, sibuk sibuk terus”, aku manyun dan cemberut.
# # #
Aku masih ingat saat liburan pertamaku semenjak masuk SD..
Aku pulang ke Bandung sendiri. Naik pesawat dari Adisucipto dengan diantar budhe atau pakdhe. Lalu terbang  ke Husein Sastranegara. Sampai di Husein Sastranegara aku dijemput mama dan papa. Tak membawa apa-apa, hanya membawa rindu. Rindu yang setia bertahta di singgasananya.
  “Mamaa...!!” aku memeluk erat mama, setelah 6 bulan tak bertemu. Papa datang dan ikut memelukku.
Aku pun pulang ke rumah Bandung, berharap rinduku bisa terobati dengan bercengkrama bersama mama dan papa..
“mama, ini nilai raporku! Bagus-bagus kan? Nadia dapet rangking lho dikelas.. sebagai hadiahnya, Nadia pengen ayo kita jalan-jalan!” kataku merengek-rengek.
“wah, bagus! Pokoknya Nadia, harus dapat nilai yang bagus! Jadi anak yang berprestasi! hmm, mama sibuk itu sayang, kamu mainan sendiri dirumah sama mbak Inem ya!”
“yah, mama.. papa, ayo kita jalan-jalan!” aku berpindah merengek pada papa.
“Papa juga harus kerja dong sayang.. iya, kamu main sama mbak Inem aja..”
Ternyata hasratku untuk mengobati rindu di Bandung tak pernah terwujud. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaanya. Berangkat pagi, pulang malam. Ah, ini sama saja! Aku hanya bisa dirumah bermain dengan mbak Inem, karena posisiku saat itu masih menjadi anak tunggal, tak punya teman bermain di Bandung..
Sinar mentari tlah memudar bahkan hilang, dan terganti bulan dengan cahaya jingganya. Udara Bandung yang dingin menyergapku pelan. Aku duduk ditempat tidur kamarku, masih menanti papa dan mama pulang, lalu, mengucapkan selamat tidur padaku. Hawa dingin semakin bertambah, dan malampun semakin larut, tapi, mama dan papa tak kunjung datang. Aku pun berbaring untuk memutuskan tidur. Kristal bening disudut mataku, akhirnya mencair dan mengalir cukup deras. Sesak dan pilu dalam hati, ternyata harapanku hanya harapan kosong. Aku tak jua merasakan kasih-sayang dan perhatian mama dan papa, tak seperti teman-teman seusiaku di SD. Aku menangis terisak dibalik bantal.
# # #
Aku masih ingat saat aku mulai “dendam” pada mama..
Aku kembali sekolah. Kembali berpisah dengan mama dan papa. Kembali menghirup hawa panas di kota Pelajar ini..
“Assalamu’alaikum..” ucapku turun dari mobil dan segera menuju kelas.
“wa’alaykumsalam.. hati-hati ya!”, jawab budhe dan segera melesatkan mobil menuju rumah.
Gerbang depan sekolahku penuh dengan para orangtua yang mengantar. Aku  berhenti dan mengamati mereka satu persatu. Ada diantara mereka yang bersalaman meminta izin pada ibunya, ada juga yang diberi uang saku dan ada juga yang diberi bekal makanan oleh ibunya. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca, itu semua membuatku ingat pada mama. aku tak pernah merasakan hal yang sama seperti teman-temanku itu. Kapan aku bisa seperti itu bersama mama? Ooh, semua terasa absurd, dan menyesakkan dada! aku menyeka air mata  dan berlari menuju kelas.
            Hari hari berlalu, mama dan papa belum mengunjungiku lagi, setelah aku dari Bandung itu. Aku bosan menangis karena kerinduanku, aku juga bosan marah-marah sendiri karena rindu yang membuatku berantakan. Saat usia sekecil itu, aku masih belum mahir mengatur emosiku.. aku merasa “dendam” pada mama.
“nadia.. ada telpon dari mama..” kata budhe dari ruang depan
“bilang saja, Nadia baru tidur, ma..” jawabku dari kamar.
Masih terlalu kecil bagiku untuk membedakan apakah itu dendam atau rindu pada mama yang sangat aku cintai.
# # #
Aku ingat saat kejadian naas itu..
Aku masih tidak mau mengangkat telpon dari mama ataupun papa di Jogja. Hingga suatu hari, ada bunyi telepon berdering. Budhe segera mengangkatnya.
“apaa?” budhe tersontak kaget. “ya, aku segera kesana”, tambahnya.
“ada apa ma?” Tanyaku.
“Mama mu tertembak dibahunya Nad.. tadi malam ada perampok dirumah..”
“apa? Terus mama gimana ma? Nadia ikut kesana, ya..”
“nggak usah Nadia kamu harus sekolah. Biar mama sama papa aja. Kamu tetep disini”
“tapi, ma….”
“sudah, kamu do’akan saja, semoga mama tidak apa-apa”.
Aku  menangis tersedu-sedu. Bagaimana mungkin aku tak menangis? Saat mamaku dalam keadaan seperti itu, aku tak bisa disampingnya..  aku hanya bisa berdo’a dari Jogja.
Aku langsung menelpon mama
“Gimana keadaan mama?” Tanyaku di telpon.
“Mama tidak apa-apa, sayang..” jawab mama membuatku lega..
“maafin Nadia ya, ma.. selama ini nggak mau ngangkat telpon mama, dan nggak bisa ikut ke Bandung jenguk mama..”
“iya, nggak papa, nak”.
“Nadia janji mulai sekarang bakal jadi anak baik yang akan ngebahagiain mama..”
“iya, sayang”, jawab mama dengan suara parau seperti menahan tangis.
            Mulai saat itu, aku belajar mengerti keadaan dan berusaha menjadi yang terbaik untuk mama. Aku akan selalu belajar yang rajin, agar bisa menjadi anak yang berprestasi, meskipun mama tak pernah mau tau bagaimana perjuanganku. Tapi, aku tetap bersyukur pada-Nya, bagaimanapun sikap mama, ia tetap mamaku yang melahirkanku dengan taruhan nyawanya. Aku juga bersyukur, aku hidup dari keluarga yang lebih dari cukup. Mungkin diluar sana, masih ada seseorang yang terlunta-lunta hanya untuk mendapat sesuap nasi.
* * *
            Seribu delapan ratus detik berlalu. Aku terbangun dari lamunan panjangku. Kini, Tania tlah terlelap tidur. Aku berjalan memasuki kamarnya. Lalu, aku duduk di sebelahnya. Ku tarik coverbed dan ku selimutkan badannya. Ku cium kedua keningnya. Mungkin aku lebih beruntung dari Tania, karena masih ada pakdhe dan budhe yang menemani hari-hariku saat sekecil itu. Tapi, Tania, yakinlah Allah tak pernah keliru memilih hamba-Nya. Allah memilih kita, karena Allah tau, kita pasti dapat melewati ini semua dengan baik.
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur

Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...