Nyiur, beringin
pun ikut terseok
Kristal
bening terus meleleh,
Tak
hanya dari awan kelabu
Tapi,
jua dari sudut mataku
Menyeka
derai air mata, sejenak lari dari perih
ku
raih buku bersampul merah
kusam,
berlubang, sobekan menganga disana-sini,
bagai buku tua dari abad sebelum masehi
tersenyum,
tergelitik, tertawa tiada arti
baca sajak
romance, prosa rapuh dan cerita nonfiksi
berkisah
tentang kebaikanmu yang buatku berdecak kagum
lalu,
larut dalam kharismamu
hingga
akhirnya tumbuh benih perasaan
ku
buka lembar-lembar berikutnya
alkisah,
perasaan itupun terpupuk dan tumbuh subur
bertindak bak sebuah prisma
yang berdispersi hingga membuat hari penuh
warna
kadang
cerah, gelap dan kelam
cerah,
saat hatiku berdesir
dengan
rentetan kebaikan yang kau ukir
gelap,
saat aku mulai lenyap
dalam
kebisuan detik-detik harap
kelam,
saat keheningan malam
menertawakan
aku yang mencintai dalam diam
bagai
busur panah melesat
menusuk,
tertancap dalam relung
ketika
helai putih tipis ini
bersyair
dalam kesedihan
tentang
cemburu, curiga dan kejenuhan menunggu
menangis,
ingat luka sembilu itu
meski
halaman terakhir tentang cerita bahagia
tentang
suntikan semangat yang terakhir kau beri
tapi,
luka ini meluluh lantahkan senyum semangat
membuat
memar hati
menjadi stimulus
untuk menuliskan ini
aku
tak setegar rumput liar
yang
kuat menahan nanar
aku
hanya wanita biasa
punya
hati, punya rasa
sebelum
aku terbunuh dalam harapan kosong
tumbang
oleh sang waktu
ijinkan
aku menuliskan sajak tak bermakna ini
inilah puisi
terakhir, diksi terakhir, goresan pena terakhir
dariku
tentangmu
kamu,
yang tak pernah tau hatiku
kamu,
yang buatku bahagia dan luka dalam satu waktu
kamu,
yang slalu setia ku tunggu hari ini, esok dan seterusnya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar