Minggu, 16 Desember 2012

Batas Penantian



Terik mentari mulai meredup. Suhu hingga mencapai 40 derajat, benar-benar seperti membakar kulitku. Meski sweater ungu dan jilbab yang melingkar di wajahku cukup untuk melindungiku dari panasnya matahari, tapi, aku masih merasakan gerah yang luar biasa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana panas dan gerahnya Caca, teman scholarshipku yang juga dari Indonesia, dengan hot pen dan kaos oblong yang ia kenakan. Hari ini senja terakhir kami di Spanyol. Besok pagi jam 8, kami akan melaksanakan wisuda S2 kami. Dan jam 4 sore take off menuju Halim Perdana Kusuma, kembali ke tanah air tercinta.
Untuk menikmati detik-detik terakhir di negri matador ini, aku dan Caca sengaja menghabiskan hari ini dengan berjalan-jalan. Kami memilih Bernabeu stadium di Madrid dan Istana Al hambra di Granada untuk menjadi objek jalan-jalan kami. Caca yang notabene Madridista sangat ingin mengunjungi Bernabeu sebelum ia kembali ke tanah air.  Ia ingin jeprat-jepret dengan kamera SLRnya dan memamerkannya pada teman-temannya di Indonesia. Sedangkan aku, pecinta sejarah Islam, ingin sekali menikmati nuansa maghrib terakhir di Spanyol, dengan mengunjungi istana Al-Hambra. Istana yang menjadi salah satu saksi bisu kegagahan Islam di Eropa dimasa lampau. Saat Islam sebagai penerang Eropa yang masih dalam kegelapan.
“Ca, ayo buruan, udah jam setengah tiga, nanti keburu telat buat nonton sunset di Al-Hambra!” seruku pada Caca sambil menunjukkan waktu dengan jam tanganku.
“oke deh, sebentar satu lagi ya!”. Ia lalu membidik kameranya dengan fokus tengah lapangan hijau yang begitu rapi dan hijau. Setelah berhasil mengabadikan dengan lensa kameranya, ia pun menutup kameranya dan memasukkan ke dalam tas kamera.
“Tunggu!” ucapnya sambil menyusulku yang tlah berjalan lebih dulu.
Aku dan Caca berjalan keluar Barnebeu dan segera menuju stasiun Madrid.
***
Dengan tiket kereta seharga 15 Euro, aku dan Caca akhirnya sampai di Stasiun Granada yang berada di Gran Via, pusat kota Granada. Untuk sampai di Al-hambra, kami harus melanjutkan dengan naik bus. Kami  segera menaiki minibus nomor 32 lewat Plaza Nueva. Butuh setengah jam perjalanan untuk sampai istana. Pemandangan yang tersaji dikanan-kiri bus, dengan lanskap pohon-pohon rindang dan rumah-rumah mungil yang menaungi bukit Assabica ini, semakin membuatku rindu pada Al-hambra. Ini kali kedua aku akan berwisata religi di Al-hambra.
Akhirnya kami sampai. Seperti saat pertama kali aku kesini, antrean loket tiket mengular begitu panjangnya. Namun, demi bisa menikmati senja terakhir sekaligus untuk mencharge cintaku terhadap Islam agamaku, aku rela mengantri dengan sabar dan penuh penantian.  Akhirnya akupun mendapatkan 2 tiket! Aku langsung menghampiri Caca yang sedari tadi menungguku di pintu masuk istana. Kami pun memasuki Istana Al-hambra.
Dengan disambut gapura tinggi babul Shari’a, kami memasuki Alcazaba, bagian istana yang diperuntukkan sebagai pertahanan militer.  Sebuah kunci dan simbol tangan manusia yang direnggangkan sebagai simbol keadilan, menggantung dibelakang gapura, dipahat dengan marmer hijau.
“Subhanallah...” aku dan Caca bertasbih memuji-Nya, berdecak kagum dengan kemegahan istana. Ini baru Alcazaba, bagian paling sederhana di istana, didalam istana masih banyak bagian yang lebih indah.
Suasana begitu ramai, banyak tourist-tourist yang berlalu lalang dengan rombongannya disertai tour guide yang memandu mereka. Aku dan Caca memang memilih berjalan-jalan sendiri tanpa tour guide, karena dulu pertama kali kami datang kesini, kami sudah menyewanya. Kami melanjutkan berjalan-jalan mengitari istana.
Matahari tlah merangkak ke peraduannya. Senja mulai temaram. Semburat-semburat emas mentari menghias langit jingga yang membentang cakrawala. Dengan tak sabar, aku dan Caca melangkahkan kaki menuju istana utama, The Nasrid Palace. Untuk dapat kesana, kami harus menaiki anak tangga melingkar dari Alcazaba. Banyak orang yang mendamba-dambakan memasuki istana ini pada malam atau temaram seperti ini. Karena .....
“Subhanallah...” lagi-lagi kami bertasbih, tanda takzim kami atas keagungan-Nya. Inilah yang didamba-dambakan para pengunjung Al-hambra. Menikmati Al-hambra saat matahari tlah tergelincir. Tapi, kini belum sempurna memang, karena matahari masih dua jengkal, belum sepenuhnya tenggelam. Meskipun begitu, pemandangan yang menakjubkan ini mampu membuat kami tersihir tanpa mengedipkan mata. Pohon-pohon rimbun dan tinggi yang terhampar di bukit-bukit Gunung Sierra Nevada membentuk siluet-siluet yang luar biasa indah.  Kami berdiri menikmati penghujung senja ini, menunggu mentari larut dalam malam.
Ting tung.. HP ku berdering dan bergetar dari saku rokku. Aku pun merogohnya dan segera membuka sms yang masuk.
“wow.. Subhanallah!” aku kaget terbelalak setelah membaca isi smsnya.
“kenapa kar?” tanya Caca penasaran.
“ini Ca.. temenku SMA ada yang mau menikah!”.
“oh.. terus apa istimewanya? Kok sampai kaget gitu?”
“ini bener-bener istimewa Ca.. aku punya temen cewek, namanya Elsa, nah, dari SMP dia udah suka sama temennya yang namanya Adit. Dulu waktu SMA, dia masih aja nunggu sampai kuliahpun juga masih.. dan akhirnya besok minggu depan Elsa mau nikah sama Adit itu”, terangku dengan perasaan yang masih tak percaya.
“waaw, so sweet banget! Akhirnya penantiannya happy ending dong!”
“iyaa...”
Tiba-tiba aku terdiam.. aku teringat masa-masa saat aku masih SMA, masih jadi ababil2 dengan seragam putih abu-abu itu. Tapi, tiba-tiba perasaanku terhujam perih, sudut mataku pun basah oleh bulir-bulir bening.
Caca tak memperhatikanku, ia masih asyik memandang lanskap yang tersaji. tapi, akhirnya iapun menoleh ke arahku. Dengan penuh perhatian ia bertanya “Lhoh, Kara, kamu kenapa? Kok nangis?”
Aku malah tambah menangis sesenggukan.
“kara, kamu kenapa?” ia langsung memelukku erat.
Rambut panjangnya yang wangi sedikit menenangkan hatiku yang berantakan secara tiba-tiba. Aku mengatur nafas, dan menghela nafas panjang. Aku menyeka air mataku, dan perlahan melepas pelukan Caca.
“Caca.. aku ingat Feri..”
“ah.. Feri lagi, Feri lagi.. yaudah, ayo kita cari tempat duduk dulu, buat nenangin kamu..”
Aku berjalan mengikuti Caca yang menggandeng tanganku. Aku masuk ke taman yang berada di bagian belakang istana. Taman  yang dibuat Sultan sebagai miniatur surga nampak begitu romantis. Di sekeliling taman ada pohon-pohon yang penuh bunga, dan sungai kecil yang mengalir di sela-sela pepohonan. Lalu ada kolam ikan cukup besar ditengah. Air mancur dalam kolam memercikkan air dan airnya pun berhamburan dalam pusara kolam. Indah sekali.
“yuk, duduk sini dulu!” kata Caca sambil melepas tanganku dan ia langsung duduk di sebuah kursi kayu dipinggir kolam. aku pun ikut duduk disampingnya.
“udah nggak usah nangis. Besok kita kan wisuda harus tampil cantik dong.. Besok kalo matamu sembab gimana?”
Aku mengusap air mataku dan hanya membalas dengan senyum simpul.
“kara, kamu masih suka sama Feri, temen SMA mu itu? Masih setia nunggu dia? Dia  yang nggak pernah tau perasaanmu? Dia  yang nggak pernah perhatiin kamu?” ucapnya dengan nada sedikit sinis
Aku mengangguk pelan.
“walaupun gitu, dia adalah orang yang menginsirasiku selama ini Ca.. kata-kata penyemangatnya bener-bener sampe ke hati. Dan benar-benar ngasih suntikan semangat buatku”, kataku lirih.
 “ini udah tahun ke berapa kamu nunggu dia?” tambah Caca
Aku mengeluarkan tangan yang tersembunyi di sak sweater, mencoba menghitung dengan jari, “hmmm,hampir  tahun ke sembilan, Ca..”
“what’s? Sembilan taun? Lo serius, kar?”
Aku mengangguk yakin.
“seberapa specialnya Feri di mata kamu sih, kar? Nunggu sampe selama itu, kaya’ nggak ada cowok lain aja di dunia ini.”
“dia itu spesial banget Ca, nggak cuma modal tampang kaya’ artis-artis, tapi, dia juga sholeh dan baik. Ah, dia terlalu sempurna bagiku ca..”
“iya kar, aku bisa ngebayangin betapa specialnya dia diamatamu.  Tapi, Kara Zahratunnisa, kamu harus bangun! Selama ini kamu cuma membangun ilusi yang tak pernah nyata. Pokoknya demi kebahagianmu, kamu harus lupain dia!” kata Caca tegas
“sebenernya aku udah nyoba dari dulu buat move on, ca.. tapi, aku nggak pernah bisa. Dia senantiasa hadir dalam hati ataupun otakku”.
“jelas nggak bisa kar, karena kamu memutuskan untuk nggak bisa”.
“maksudmu?”
“kamu bilang kamu move on, tapi, sebenarnya dalam hatimu masih aja nunggu Feri.. kamu  menutup hatimu kar. Kamu nggak membiarkan hatimu tersentuh orang lain”.
“ah, sok tau kamu. Apa buktinya?”
“jelas banyak buktinya! Lihat Kevin, Aldo.. belum lagi ceritamu tentang kak Doni sama Hendra. Mereka kurang baik apa dan kurang sayang apa sih sama kamu kar.. mereka tulus sayang kamu, tapi, sedikitpun kamu nggak menggubris satupun dari mereka. Di pikiranmu tuh cuman ada Feri, Feri, Feri terus”.
Aku diam membisu.
“terus aku harus gimana Ca? Aku juga dah capek hati gini terus..”
“kamu harus bikin batas penantian kar!”
“batas penantian?”
“iya, batas penantian.. jadi, kamu harus bikin komitmen sama dirimu sendiri, kapan batas penantianmu buat nunggu dia. Hmmm, aku punya usul, mungkin lebih cepat lebih baik. Kalau bisa malah detik ini juga, batas penantiannya!”
“detik ini? Mana mungkin, secepat itu ca? Mungkin butuh waktu lama..”
“jangan lama-lama Kar, life must go on! Menurutku selambat-lambatnya besok pagi!”
“besok pagi?”
“iya, besok kan kita pulang ke Indonesia, nah, kamu harus buka lembaran baru Kar.. kamu nggak bisa terus nunggu Feri. Kalaupun dia jodohmu, dia pasti akan datang Kar. Tapi, kalau dia bukan jodohmu apa kamu mau terus nunggu dia? Itu bakal nyusahin kamu sendiri Kar. Kita sekarang dah dewasa, udah saatnya mikirin pernikahan, apa kamu akan terus nunggu suatu saat Feri bakal melamarmu? Apa kamu betah nunggu dia sampai ujung waktumu?”
Aku tertunduk dan memikirkan kata-kata caca dalam-dalam. Mungkin dia benar juga. Pikiranku melayang-layang memikirkan masa depanku esok. Dadaku sesak, mungkin Caca benar. Buat apa aku terus mengharapkannya, jika dia memang bukan jodohku? Bukankah aku malah “memaksakan” Tuhan? Aku tertegun memikirkan jawaban.
“okelah Ca.. besok setelah kita wisuda, ya kira-kira jam 11 pagi adalah batas penantianku. Kalau dia nggak ngasih sekedar ucapan selamat atas wisudaku, lewat email ataupun sms, ataupun jejaring sosial, berarti dia benar-benar harus aku lupain. Tapi, kalau dia ngucapin, berarti aku masih pantas buat nunggu dia”, jawabku akhirnya setelah membuat keputusan.
“setuju!” jawab caca sambil mengacungkan jempol
Mentari tlah benar-benar larut ke perut malam. Kini, kaligrafi-kaligrafi yang terpahat dalam pilar-pilar kurus dari pualam itu bersinar terang memancarkan warna merah, biru dan hijau. Menambah suasana syahdu dalam detik-detik bermulanya penantianku menuju batas penantian. Tapi, aku tak bisa berlama-lama menikmati ini semua, aku harus segera bergegas pulang kembali ke Barcelona..
***
Fajar  perlahan merangkak dari ufuk timur. Suasana hening karena jalanan masih sepi. Barcelona masih lengang. Aku membuka mata yang sebenarnya masih lengket. Setelah aku sadar bahwa hari tlah berganti,tiba-tiba saja seribu rasa membuncah dalam dada. Senang, takut, harap bercampur aduk. Aku bangun dan mengambil air wudhu untuk sholat subuh sekaligus menenangkan hati.
Hari ini menjadi batas penantianku jika Feri benar-benar tak memberiku ucapan selamat. Jujur, sebenarnya aku sangat amat berharap ia mengucapkan.  Seusai sholat, aku meraih HP-ku, ada 1 sms masuk. Jantungku berdebar-debar menekan tombol open. Semoga saja Feri, gumamku dalam hati. Ah, ternyata bukan! Ternyata Sasha yang membangunkan sholat tahajud. Aku segera membuka facebook siapa tau dia mengirim pesan atau menulis wall. Setelah sampai beranda, ada 1 notif dan 1 pesan baru. Dengan tak sabar, aku membuka semuanya. Hah, ternyata bukan juga. 1 pesan dari Hendra yang memberikan selamat atas wisudaku dan wall dari mbak Lena yang juga menyelamati. Aku kecewa. Tapi, tak apa masih ada waktu 7 jam untuk menunggu. Aku segera mandi dan bersiap-siap untuk wisuda sekaligus mengemasi barang-barang untuk pulang.
* * *
Sekarang jam setengah 8. Aku sudah duduk dalam auditorium untuk menunggu upacara wisuda dimulai setengah jam lagi. Kursi peserta wisuda sudah hampir penuh. Teman-temanku yang juga wisuda hari ini, tlah duduk rapi dengan toga-toga hitam, sangat serasi berpadu dengan kulit-kulit putih khas bule. Sayang, Caca tidak bisa duduk disampingku karena kami berbeda fakultas. Padahal, aku ingin sekali menceritakan kegalauan tentang penantianku ini. Hingga kini, hasilnya masih nihil. Meski, sudah banyak teman-teman dan keluargaku yang mengucapkan, namun, Feri masih belum juga muncul dalam daftar nama itu. Tapi, aku masih setia menunggu.
Akhirnya wisudapun dimulai, jam 8 tepat. Memang, tak seperti wisuda S1 ku di Indonesia dulu yang molor 1 jam. Di Spanyol sangat tepat waktu. Bosan mulai menerpa, saat sambutan-sambutan disampaikan. Aku masih slalu melihat layar Handphoneku, berharap ada nama Feri yang muncul. Aku mengeluarkan tablet dari tas, mencoba membuka email dan jejaring sosial. Untuk apa lagi jika bukan untuk mengecheck? Tapi, semua nol besar. Notif dan wallku bertambah banyak juga mentionku. Tapi, lagi lagi bukan Feri yang tertulis sebagai pengirim ucapan selamat. Aku mulai frustasi.
Sebentar lagi giliran fakultasku yang akan maju ke mimbar. Antrian tlah mengular, dan aku tlah berdiri untuk ikut menjadi bagiannya. Aku menengok podium tamu undangan. Air mataku meleleh, ayah dan ibuku tak ada disana. Meski tadi pagi mereka tlah menelpon untuk memberi selamat dan do’a, tapi, tetap saja aku menginginkan kehadirannya. Tapi, yasudahlah, Spanyol itu memang jauh dari Jogja. Aku memaklumi. Tapi, aku masih saja gusar menanti ucapan Feri. Aku tak bisa memaklumi jika dia lupa, karena terakhir kali kita contact lewat sms, aku tlah memberitahunya bahwa hari ini aku wisuda.
Aku turun dari mimbar dengan tali topi toga yang sudah disilakan rektorku, Mr.Edward. Hpku bergetar. Aku segera membukanya. Ternyata harapanku pupus lagi, bukan Feri yang hadir lewat sinyal itu. Aku melihat jam. Jam menunjukkan pukul 10.15 a.m. 45 menit lagi, batas penantianku. Upacara wisuda sudah dipenghujung acara. Akhirnya wisudapun selesai jam 10.45 a.m. oh, 15 menit lagi!
Hiruk pikuk teman-temanku tumpah ruah dipelataran kampus. Dalam kerumunan, aku berjalan mencari-cari Caca. Tapi, gadis itu kini sulit dicari. Karena dengan seragam sama seperti ini, aku sulit membedakan satu persatu. Jam menunjukkan 10.52 a.m. HP ku masih bergeming untuk memunculkan nama Feri. Akhirnya aku menemukan Caca tepat jam 10.57 a.m.
“Cacaaa !” teriakku sambil berlari menghampirinya dan memeluknya
“Kara..!”
“Gimana Kar, Feri udah ngasih ucapan?” tanya Kara begitu penasaran sambil melepaskan pelukanku.
Aku menggeleng lesu.
Kara melongok jam tangannya. “Tenang Kar, masih ada 3 menit, ayo kita tunggu!”.
Aku dan Caca duduk. Membuka tablet dan HP. Menanti detik-detik terakhir.  Pukul 10.59. HPku berdering, ada sms. Tanganku gemetar memegangnya.
“ayo buruan dibuka Kar! Mesti dari Feri!”
“aku nggak berani Ca.. aku takut kalau bukan, kamu aja deh yang buka”.
“Ah, Kara, nanti kamu nyesel lho kalau ternyata itu beneran Feri! ayo gih, buruan!”
“takut!” aku menggeleng-nggelengkan kepala
“Kara, kalau toh itu bukan Feri, dunia belum berakhir Kar. Justru bagiku itu akan lebih baik. Karena kamu akan membuka hidup baru tanpa harapan kosong tentang hadirnya”.
“yaudah, aku buka ya!”. Perlahan aku membuka tombol buka kunci, dan open!
Tes.. kristal bening tiba-tiba meleleh disudut mataku. SMS itu bukan dari Feri! dan kini waktu tlah menunjukkan pukul 11 a.m. aku memeluk Caca erat dan menangis terisak....
* * *
Hatiku masih tidak karuan semenjak kejadian tadi. Ya, batas penantianku cukup sampai disini! Sekarang pukul 1 p.m, 3 jam lagi aku akan pulang.
·         Ca, sebelum pulang, ayo tak ajak ke La Rambla! pintaku lewat sms.
Ø  Oke. Kapan?
·         Sekarang. Siap-siap ya, aku langsung ke asramamu!
Ø  Oke

* * *
Titik awal memasuki La Rambla, tepatnya di depan Plaza Catalonia, aku dan Caca disambut ribuan burung dara yang menari-nari dibawah terik surya. Berbondong-bondong menghampiri orang-orang yang memberi makan. Di sepanjang jalan yang membentang dari Plaza Catalonia hingga patung Columbus ini tumpah ruah oleh para tourist dan juga warga domestik. Sekedar nongkrong, ataupun berjalan-jalan memanjakan mata. Maklum, ini sedang musim panas, waktu yang tepat untuk berlibur. Suasana ini, membuatku teringat pada Malioboro, saat sedang musim liburan sekolah atau tahun baru. Mungkin, Malioboro lebih padat lagi dari ini, karena jalannya saja sudah sempit, belum lagi ditambah para pemarkir liar, tukang becak dan tentu saja pejalan kaki yang berlalu lalang itu. Berbeda dengan La Rambla yang memiliki luas lima puluh ribu meter persegi ini. Konsep yang dibuat Francesc Nebot, sang arsitektur, begitu indah. Tak hanya para penjual souvenir, binatang, snack, dll, yang menjadi jantung La Rambla. Namun, disekelilingnya ada juga taman-taman dengan bunga beraneka warna, patung-patung bahkan patung-patung jadian alias orang-orang yang bertingkah seperti patung. Tentu saja ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pedestrian.
Aku mengajak Caca duduk di diatas kursi rotan yang berada di depan ribuan merpati tadi.
            “Ada apa sih Kar?” katanya sambil menyilakan poninya
            “nggak papa sih Ca.. aku cuman pengen nulis sebentar. Kamu mau nunggu disini, apa jalan-jalan?”.
            “ooh.. aku jalan-jalan aja ya, Kar.. itung-itung buat nikmatin indahnya Barcelona untuk terakhiir kali”.
            “oke, sip!”.
Caca meninggalkanku. Aku mengambil secarik kertas yang sudah kusiapkan dalam tas dan pena ungu dalam disgrip.
Untuk Sang Inspirator..
Hari ini, tepatnya 2 jam lalu adalah batas penantianku.. batas penantian, untuk menantikan kehadiranmu, untuk menantikan perasaan yang sama darimu.  setelah hampir 9 tahun aku memendam rasa padamu, kini cukup sampai disini perasaanku.
 Aku lupa kapan tepatnya aku menyimpan perasaan yang dalam ini untukmu. Yang aku tau, sejak pertama aku memakai seragam putih abu-abu. Karena kamu yang pertama kali membuat hatiku berdesir tak karuan. Kamu yang pertama membantuku saat aku kesusahan, menenangkanku saat aku kebingungan dan menyemangati saat aku diujung keputus asaan. 
Sang inspirator. Andai kau tau, betapa bahagianya aku saat bertemu kamu, menerima smsmu bahkan mendengar namamu saja. Aku tak mengerti, perasaan ini berdesir begitu derasnya menghiasi  hari-hariku, mewarnai hidupku dan memenuh sesakkan hatiku. Tapi, akhi, kau  juga tak pernah mengerti, betapa sakit dan pedihnya aku saat aku tau polah-polah penggemarmu bahkan mereka lebih dari mengidolakanmu. Tapi, mereka juga mencintaimu. Seperti tertancap busur panah. Sakit, perih teramat sangat menghujam jantungku.  Juga kau tak pernah tau, betapa jenuhnya aku menunggu smsmu datang di 19 kali kesempatan. 8 kali saat hari ulangtahunku, 9 kali saat idul fitri, dan 2 kali saat wisudaku. Tapi, semua nihil. Entah kamu lupa, entah kamu tak pernah mau tau, sepatah kata selamatpun tak pernah ku dapatkan darimu. Lalu, kau juga tak pernah tau, betapa bagiku, waktu tak ubahnya seperti seekor siput. Melaju pelan, amat lamban ditengah penantianku. Dan parahnya perasaan ini jauh lebih pelan dari itu. Lebih pelan dari laju reaksi bahkan jalannya liliput.
Akhi, aku tlah lelah dengan semua ini. Lelah menanti dalam harapan kosongku. Mungkin, selama ini aku hanya salah paham perasaan. Aku tlah menyalah artikan kebaikanmu padaku menjadi benih-benih perasaan yang hinggap semerbak dalam singgasanaku. Semakin hari, semakin besar, hingga aku tak sanggup menebang.
Namun, kini sebelum aku terbunuh oleh perasaanku sendiri, tumbang oleh waktu, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melupakanmu. Seperti dulu saat aku yakin, suatu saat kau akan datang padaku meminangku, membawa cinta dan menjadikanku permaisuri hatimu, kini, aku yakin aku pasti bisa melupakanmu.
Akhi, terimakasih tak terhingga ku curahkan untukmu. Karena selama 9 tahun, kau telah menjadi inpiratorku, mengubahku dalam banyak hal. Ini akan jadi diksi terakhir, goresan pena terakhir, dariku untukmu. Untukmu yang tak pernah tau hatiku.
Semoga Allah selalu meridhai setiap langkah-Mu, menjodohkan-Mu pada wanita yang jauh lebih baik dariku, dan juga sebaliknya. J
Selamat tinggal Feri, selamat tinggal inspiratorku..
Aku lipat kertasku menjadi sebuah pesawat. Lalu, ku terbangkan ditengah ribuan merpati yang sedang berlomba-lomba mengepakkan sayapnya. Biarlah perasaanku terbang dan hilang bersama merpati itu. Biarlah ia lepas dan terbebas dari belenggu hatiku.
Setelah beberapa saat, kertasku terbang dan menghilang dari jangkauan mata. Angin yang berhembus memang cukup kencang. Entah benda putih tipis itu kemana, semakin jauh semakin baik. Karena lara hati dan segenap perasaanku tlah ku tumpahkan dalam selembar kertas itu. Biar ia hilang bahkan lenyap oleh bumi.
Caca tlah kembali dan kami segera pulang ke asrama mengambil koper, lalu, menuju bandara. Kerinduanku pada kampung halaman tlah mencapai klimaks. Aku tak sabar untuk bertemu keluargaku!
Good bye, spanyol.. Indonesia, I’m coming!!
* * *
Tiga hari berlalu. Aku merasakan lagi kehangatan tanah air. Keramahan penduduk pribumi. Dan yang pasti kesejukan kota Bandung. serta kebahagiaan tiada tara bisa bercengkerama dengan keluargaku tercinta.
“kara, bangun! Sholat subuh, terus bantuin bersih-bersih nanti!” suara ibuku menggema dan membuatku membuka mata.
“iya, ma!”
Aku segera mengambil air wudhu, lalu bergegas menuju masjid sebelum qamat berkumandang.
“ma, tadi kok mama bilang mau bersih-bersih, emang mau ada siap?” tanyaku diperjalanan pulang dari masjid
“oh, nanti ada tamu spesial. Jadi, kita harus siap-siap.”
“tamu spesial? Siapa ma?”.
“nanti kamu juga tau..”

* * *
Semua sudah tertata rapi. Kami menunggu kedatangan tamu spesial, kata mama. Setelah setengah jam menunggu, akhirnya ada sebuah mobil avanza yang mendekat ke arah rumahku.
“nah, itu dia pak Doni!” kata papa sambil beranjak dari tempat duduk.
Papa dan mama dengan semangat keluar rumah.
Pak doni? Siapa dia? Apa spesialnya? Ah, paling cuman temen lama papa. Males ah keluar, nunggu disini aja. Pikirku dalam hati.
“Assalamu’alaikumm...” sapa seorang perempuan paruh baya dengan jilbab bunga-bunga dan gamis pink keluar dari mobil.
“wa’alaikumsalam warahmatullah.. mari silahkan masuk”, jawab mama dengan ramah
Aku mengamati dalam-dalam wajah ibu itu, seperti pernah melihatnya. Tapi, siapa? Dimana? Aku benar-benar lupa.
 “Assalamu’alaikum” sapa ibu itu masuk rumah.
“wa’alaikumsalam.. silahkan duduk bu..”, jawabku sambil tersenyum
“oh, ini yang namanya Kara?”
“iya bu..” jawab mama
“cantiknya..”
Aku tersenyum simpul sambil tersipu malu.
“sana, bikinin minum dulu Kar”, kata mama
“iya ma..”
“Assalamu’alaikum..”, sapa seseorang yang datang dengan suara berat, namun, ramah
“wa’alaikumsalam warahmatullah.. mari-mari silahkan masuk”, suara mama menyeimbangkan keramahan.
Langkahku terhenti, aku membalikkan pandangan ke arah ruang tamu.
“apaa?” aku tertegun sendiri. Tangan dan kakiku gemetar seperti tak sanggup menyanggah badan. Mataku berhenti berkedip, mulutku melongo.
Mereka yang diruang tamu melanjutkan dengan percakapan-percakapan ringan.
Aku masih berdiri tertegun. Akhirnya aku sadar dari lamunanku saat aku dipanggil papa.
“kara..”
“i.. ii.. ya pa..” jawabku gugup.
Aku tidak melanjutkan menuju dapur. Aku melangkah gemetar ke ruang tamu dengan degup jantung yang hampir seperti mau copot.
“nah, Kara sudah kenal kan sama ini?” tanya papa menunjuk seorang pemuda yang duduk disebelahnya.
Pemuda itu tersenyum manis. Sumpah, manis sekali! Dan hatiku? ohh, semakin rusuh, seperti genderang perang.
Aku menunduk tak berani melihatnya lagi, daripada aku malah semaput dengan kharismanya.
“i.. i.. ya”, aduh jawabku terbata-bata, benar-benar salting!
“siapa coba namanya?”, kata mama menggoda
“Fe... fe.. fe.. feri..”, jawabku terbata-bata lagi. Oh, tidak!!
            “sini duduk sini dulu, biar mama aja yang ambil minum”.
            Aku duduk gemetar. Ini benar-benar seperti mimpi. Aku mencubit tanganku. Aw, sakit! Berarti.. ini bukan mimpi!
            Setelah duduk, aku mulai mencair. Menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati.
            Setelah beberapa saat percakapan ringan, Bapak yang duduk diantara pak Doni dan Feri mulai mengangkat pembicaraan serius. Seketika hening. Semua yang ada diruang tamu ini memperhatikan dengan seksama.
            “begini bapak Irsyad sekeluarga, saya mewakili Pak Doni sekeluarga, yang pertama ingin bersilaturahmi. Yang kedua ingin menambah tali persaudaraan. Kami berencana meminang putri Anda, Kara Zahratunnisa dengan keponakan saya ini, Feri Prasetyo. Apakah bapak dan ibu sekeluarga bersedia menerima lamaran kami?”
            Tiba-tiba ada kristal bening yang menetes disudut mataku. Ya Allah, aku benar-benar tak percaya! Ya Allah, Ya Rabb, selama ini Engkau memang mendengar semua keluh kesahku. Maha Mengerti semua yang kurasakan. Dan ini... jawaban luar biasa indah dalam skenario-Mu. Ya Allah, terimakasih.. Alhamdulillahirobbil’alamin.. bisik dalam hati
            “kalau saya sih, boleh-boleh saja. Tapi, ya tergantung anak saya ini saja. Yang akan menjalani ke depannya kan mereka. Gimana Kara? Apa kamu bersedia?”
            Aku menunduk dan mengangguk pelaan... penantian ini... batas penantianku bukan tiga hari yang lalu. Ya, tapi, hari ini. Penantian yang berakhir bahagia. Ternyata Feri memang menungguku hingga hari ini. Ia ingin bunganya mekar sempurna, lalu setelah itu ia baru berani memetiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur

Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...