Terik mentari mulai meredup. Suhu
hingga mencapai 40 derajat, benar-benar seperti membakar kulitku. Meski sweater ungu dan jilbab yang melingkar
di wajahku cukup untuk melindungiku dari panasnya matahari, tapi, aku masih
merasakan gerah yang luar biasa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana panas
dan gerahnya Caca, teman scholarshipku yang juga dari Indonesia, dengan hot pen dan kaos oblong yang ia kenakan. Hari ini senja terakhir kami di Spanyol. Besok
pagi jam 8, kami akan melaksanakan wisuda S2 kami. Dan jam 4 sore take off
menuju Halim Perdana Kusuma, kembali ke tanah air tercinta.
Untuk menikmati detik-detik
terakhir di negri matador ini, aku dan Caca sengaja menghabiskan hari ini
dengan berjalan-jalan. Kami memilih Bernabeu stadium di Madrid dan Istana Al
hambra di Granada untuk menjadi objek jalan-jalan kami. Caca yang notabene
Madridista sangat ingin mengunjungi Bernabeu sebelum ia kembali ke tanah air. Ia ingin jeprat-jepret
dengan kamera SLRnya dan memamerkannya pada teman-temannya di Indonesia.
Sedangkan aku, pecinta sejarah Islam, ingin sekali menikmati nuansa maghrib
terakhir di Spanyol, dengan mengunjungi istana Al-Hambra. Istana yang menjadi
salah satu saksi bisu kegagahan Islam di Eropa dimasa lampau. Saat Islam
sebagai penerang Eropa yang masih dalam kegelapan.
“Ca, ayo buruan, udah
jam setengah tiga, nanti keburu telat buat nonton sunset di Al-Hambra!” seruku pada Caca sambil menunjukkan waktu
dengan jam tanganku.
“oke deh, sebentar
satu lagi ya!”. Ia lalu membidik kameranya dengan fokus tengah lapangan hijau
yang begitu rapi dan hijau. Setelah berhasil mengabadikan dengan lensa
kameranya, ia pun menutup kameranya dan memasukkan ke dalam tas kamera.
“Tunggu!” ucapnya
sambil menyusulku yang tlah berjalan lebih dulu.
Aku dan Caca berjalan
keluar Barnebeu dan segera menuju stasiun Madrid.
***
Dengan tiket kereta
seharga 15 Euro, aku dan Caca akhirnya sampai di Stasiun Granada yang berada di
Gran Via, pusat kota Granada. Untuk sampai di Al-hambra, kami harus melanjutkan
dengan naik bus. Kami segera menaiki
minibus nomor 32 lewat Plaza Nueva. Butuh setengah jam perjalanan untuk sampai
istana. Pemandangan yang tersaji dikanan-kiri bus, dengan lanskap pohon-pohon
rindang dan rumah-rumah mungil yang menaungi bukit Assabica ini, semakin
membuatku rindu pada Al-hambra. Ini kali kedua aku akan berwisata religi di
Al-hambra.
Akhirnya kami sampai.
Seperti saat pertama kali aku kesini, antrean loket tiket mengular begitu
panjangnya. Namun, demi bisa menikmati senja terakhir sekaligus untuk mencharge cintaku terhadap Islam agamaku,
aku rela mengantri dengan sabar dan penuh penantian. Akhirnya akupun mendapatkan 2 tiket! Aku
langsung menghampiri Caca yang sedari tadi menungguku di pintu masuk istana. Kami
pun memasuki Istana Al-hambra.
Dengan disambut gapura
tinggi babul Shari’a, kami memasuki
Alcazaba, bagian istana yang diperuntukkan sebagai pertahanan militer. Sebuah kunci dan simbol tangan manusia yang
direnggangkan sebagai simbol keadilan, menggantung dibelakang gapura, dipahat
dengan marmer hijau.
“Subhanallah...” aku
dan Caca bertasbih memuji-Nya, berdecak kagum dengan kemegahan istana. Ini baru
Alcazaba, bagian paling sederhana di istana, didalam istana masih banyak bagian
yang lebih indah.
Suasana begitu ramai,
banyak tourist-tourist yang berlalu
lalang dengan rombongannya disertai tour
guide yang memandu mereka. Aku dan Caca memang memilih berjalan-jalan
sendiri tanpa tour guide, karena dulu
pertama kali kami datang kesini, kami sudah menyewanya. Kami melanjutkan
berjalan-jalan mengitari istana.
Matahari tlah
merangkak ke peraduannya. Senja mulai temaram. Semburat-semburat emas mentari
menghias langit jingga yang membentang cakrawala. Dengan tak sabar, aku dan
Caca melangkahkan kaki menuju istana utama, The Nasrid Palace. Untuk dapat
kesana, kami harus menaiki anak tangga melingkar dari Alcazaba. Banyak orang
yang mendamba-dambakan memasuki istana ini pada malam atau temaram seperti ini.
Karena .....
“Subhanallah...”
lagi-lagi kami bertasbih, tanda takzim kami atas keagungan-Nya. Inilah yang
didamba-dambakan para pengunjung Al-hambra. Menikmati Al-hambra saat matahari
tlah tergelincir. Tapi, kini belum sempurna memang, karena matahari masih dua
jengkal, belum sepenuhnya tenggelam. Meskipun begitu, pemandangan yang
menakjubkan ini mampu membuat kami tersihir tanpa mengedipkan mata. Pohon-pohon
rimbun dan tinggi yang terhampar di bukit-bukit Gunung Sierra Nevada membentuk
siluet-siluet yang luar biasa indah.
Kami berdiri menikmati penghujung senja ini, menunggu mentari larut
dalam malam.
Ting
tung.. HP ku
berdering dan bergetar dari saku rokku. Aku pun merogohnya dan segera membuka
sms yang masuk.
“wow.. Subhanallah!”
aku kaget terbelalak setelah membaca isi smsnya.
“kenapa kar?” tanya
Caca penasaran.
“ini Ca.. temenku SMA
ada yang mau menikah!”.
“oh.. terus apa
istimewanya? Kok sampai kaget gitu?”
“ini bener-bener
istimewa Ca.. aku punya temen cewek, namanya Elsa, nah, dari SMP dia udah suka
sama temennya yang namanya Adit. Dulu waktu SMA, dia masih aja nunggu sampai
kuliahpun juga masih.. dan akhirnya besok minggu depan Elsa mau nikah sama Adit
itu”, terangku dengan perasaan yang masih tak percaya.
“waaw, so sweet banget! Akhirnya penantiannya happy ending dong!”
“iyaa...”
Tiba-tiba aku
terdiam.. aku teringat masa-masa saat aku masih SMA, masih jadi ababil2
dengan seragam putih abu-abu itu. Tapi, tiba-tiba perasaanku terhujam perih,
sudut mataku pun basah oleh bulir-bulir bening.
Caca tak
memperhatikanku, ia masih asyik memandang lanskap yang tersaji. tapi, akhirnya
iapun menoleh ke arahku. Dengan penuh perhatian ia bertanya “Lhoh, Kara, kamu
kenapa? Kok nangis?”
Aku malah tambah
menangis sesenggukan.
“kara, kamu kenapa?”
ia langsung memelukku erat.
Rambut panjangnya
yang wangi sedikit menenangkan hatiku yang berantakan secara tiba-tiba. Aku
mengatur nafas, dan menghela nafas panjang. Aku menyeka air mataku, dan
perlahan melepas pelukan Caca.
“Caca.. aku ingat
Feri..”
“ah.. Feri lagi, Feri
lagi.. yaudah, ayo kita cari tempat duduk dulu, buat nenangin kamu..”
Aku berjalan mengikuti
Caca yang menggandeng tanganku. Aku masuk ke taman yang berada di bagian
belakang istana. Taman yang dibuat
Sultan sebagai miniatur surga nampak begitu romantis. Di sekeliling taman ada
pohon-pohon yang penuh bunga, dan sungai kecil yang mengalir di sela-sela
pepohonan. Lalu ada kolam ikan cukup besar ditengah. Air mancur dalam kolam
memercikkan air dan airnya pun berhamburan dalam pusara kolam. Indah sekali.
“yuk, duduk sini
dulu!” kata Caca sambil melepas tanganku dan ia langsung duduk di sebuah kursi
kayu dipinggir kolam. aku pun ikut duduk disampingnya.
“udah nggak usah
nangis. Besok kita kan wisuda harus tampil cantik dong.. Besok kalo matamu
sembab gimana?”
Aku mengusap air
mataku dan hanya membalas dengan senyum simpul.
“kara, kamu masih
suka sama Feri, temen SMA mu itu? Masih setia nunggu dia? Dia yang nggak pernah tau perasaanmu? Dia yang nggak pernah perhatiin kamu?” ucapnya
dengan nada sedikit sinis
Aku mengangguk pelan.
“walaupun gitu, dia
adalah orang yang menginsirasiku selama ini Ca.. kata-kata penyemangatnya
bener-bener sampe ke hati. Dan benar-benar ngasih suntikan semangat buatku”,
kataku lirih.
“ini udah tahun ke berapa kamu nunggu dia?” tambah
Caca
Aku mengeluarkan
tangan yang tersembunyi di sak sweater,
mencoba menghitung dengan jari, “hmmm,hampir tahun ke sembilan, Ca..”
“what’s? Sembilan
taun? Lo serius, kar?”
Aku mengangguk yakin.
“seberapa specialnya
Feri di mata kamu sih, kar? Nunggu sampe selama itu, kaya’ nggak ada cowok lain
aja di dunia ini.”
“dia itu spesial
banget Ca, nggak cuma modal tampang kaya’ artis-artis, tapi, dia juga sholeh
dan baik. Ah, dia terlalu sempurna bagiku ca..”
“iya kar, aku bisa
ngebayangin betapa specialnya dia diamatamu.
Tapi, Kara Zahratunnisa, kamu harus bangun! Selama ini kamu cuma
membangun ilusi yang tak pernah nyata. Pokoknya demi kebahagianmu, kamu harus
lupain dia!” kata Caca tegas
“sebenernya aku udah
nyoba dari dulu buat move on, ca.. tapi, aku nggak pernah bisa. Dia senantiasa
hadir dalam hati ataupun otakku”.
“jelas nggak bisa
kar, karena kamu memutuskan untuk nggak bisa”.
“maksudmu?”
“kamu bilang kamu
move on, tapi, sebenarnya dalam hatimu masih aja nunggu Feri.. kamu menutup hatimu kar. Kamu nggak membiarkan
hatimu tersentuh orang lain”.
“ah, sok tau kamu.
Apa buktinya?”
“jelas banyak
buktinya! Lihat Kevin, Aldo.. belum lagi ceritamu tentang kak Doni sama Hendra.
Mereka kurang baik apa dan kurang sayang apa sih sama kamu kar.. mereka tulus
sayang kamu, tapi, sedikitpun kamu nggak menggubris satupun dari mereka. Di
pikiranmu tuh cuman ada Feri, Feri, Feri terus”.
Aku diam membisu.
“terus aku harus
gimana Ca? Aku juga dah capek hati gini terus..”
“kamu harus bikin
batas penantian kar!”
“batas penantian?”
“iya, batas
penantian.. jadi, kamu harus bikin komitmen sama dirimu sendiri, kapan batas
penantianmu buat nunggu dia. Hmmm, aku punya usul, mungkin lebih cepat lebih
baik. Kalau bisa malah detik ini juga, batas penantiannya!”
“detik ini? Mana
mungkin, secepat itu ca? Mungkin butuh waktu lama..”
“jangan lama-lama
Kar, life must go on! Menurutku
selambat-lambatnya besok pagi!”
“besok pagi?”
“iya, besok kan kita
pulang ke Indonesia, nah, kamu harus buka lembaran baru Kar.. kamu nggak bisa
terus nunggu Feri. Kalaupun dia jodohmu, dia pasti akan datang Kar. Tapi, kalau
dia bukan jodohmu apa kamu mau terus nunggu dia? Itu bakal nyusahin kamu
sendiri Kar. Kita sekarang dah dewasa, udah saatnya mikirin pernikahan, apa
kamu akan terus nunggu suatu saat Feri bakal melamarmu? Apa kamu betah nunggu
dia sampai ujung waktumu?”
Aku tertunduk dan
memikirkan kata-kata caca dalam-dalam. Mungkin dia benar juga. Pikiranku
melayang-layang memikirkan masa depanku esok. Dadaku sesak, mungkin Caca benar.
Buat apa aku terus mengharapkannya, jika dia memang bukan jodohku? Bukankah aku
malah “memaksakan” Tuhan? Aku tertegun memikirkan jawaban.
“okelah Ca.. besok
setelah kita wisuda, ya kira-kira jam 11 pagi adalah batas penantianku. Kalau dia
nggak ngasih sekedar ucapan selamat atas wisudaku, lewat email ataupun sms,
ataupun jejaring sosial, berarti dia benar-benar harus aku lupain. Tapi, kalau
dia ngucapin, berarti aku masih pantas buat nunggu dia”, jawabku akhirnya
setelah membuat keputusan.
“setuju!” jawab caca
sambil mengacungkan jempol
Mentari tlah
benar-benar larut ke perut malam. Kini, kaligrafi-kaligrafi yang terpahat dalam
pilar-pilar kurus dari pualam itu bersinar terang memancarkan warna merah, biru
dan hijau. Menambah suasana syahdu dalam detik-detik bermulanya penantianku
menuju batas penantian. Tapi, aku tak bisa berlama-lama menikmati ini semua,
aku harus segera bergegas pulang kembali ke Barcelona..
***
Fajar perlahan merangkak dari ufuk timur. Suasana hening
karena jalanan masih sepi. Barcelona masih lengang. Aku membuka mata yang
sebenarnya masih lengket. Setelah aku sadar bahwa hari tlah berganti,tiba-tiba
saja seribu rasa membuncah dalam dada. Senang, takut, harap bercampur aduk. Aku
bangun dan mengambil air wudhu untuk sholat subuh sekaligus menenangkan hati.
Hari ini menjadi
batas penantianku jika Feri benar-benar tak memberiku ucapan selamat. Jujur,
sebenarnya aku sangat amat berharap ia mengucapkan. Seusai sholat, aku meraih HP-ku, ada 1 sms
masuk. Jantungku berdebar-debar menekan tombol open. Semoga saja Feri, gumamku
dalam hati. Ah, ternyata bukan! Ternyata Sasha yang membangunkan sholat tahajud.
Aku segera membuka facebook siapa tau dia mengirim pesan atau menulis wall.
Setelah sampai beranda, ada 1 notif dan 1 pesan baru. Dengan tak sabar, aku
membuka semuanya. Hah, ternyata bukan juga. 1 pesan dari Hendra yang memberikan
selamat atas wisudaku dan wall dari mbak Lena yang juga menyelamati. Aku
kecewa. Tapi, tak apa masih ada waktu 7 jam untuk menunggu. Aku segera mandi
dan bersiap-siap untuk wisuda sekaligus mengemasi barang-barang untuk pulang.
* * *
Sekarang jam setengah
8. Aku sudah duduk dalam auditorium untuk menunggu upacara wisuda dimulai
setengah jam lagi. Kursi peserta wisuda sudah hampir penuh. Teman-temanku yang
juga wisuda hari ini, tlah duduk rapi dengan toga-toga hitam, sangat serasi
berpadu dengan kulit-kulit putih khas bule. Sayang, Caca tidak bisa duduk
disampingku karena kami berbeda fakultas. Padahal, aku ingin sekali
menceritakan kegalauan tentang penantianku ini. Hingga kini, hasilnya masih
nihil. Meski, sudah banyak teman-teman dan keluargaku yang mengucapkan, namun,
Feri masih belum juga muncul dalam daftar nama itu. Tapi, aku masih setia
menunggu.
Akhirnya wisudapun
dimulai, jam 8 tepat. Memang, tak seperti wisuda S1 ku di Indonesia dulu yang
molor 1 jam. Di Spanyol sangat tepat waktu. Bosan mulai menerpa, saat sambutan-sambutan
disampaikan. Aku masih slalu melihat layar Handphoneku, berharap ada nama Feri
yang muncul. Aku mengeluarkan tablet dari tas, mencoba membuka email dan
jejaring sosial. Untuk apa lagi jika bukan untuk mengecheck? Tapi, semua nol
besar. Notif dan wallku bertambah banyak juga mentionku. Tapi, lagi lagi bukan
Feri yang tertulis sebagai pengirim ucapan selamat. Aku mulai frustasi.
Sebentar lagi giliran
fakultasku yang akan maju ke mimbar. Antrian tlah mengular, dan aku tlah
berdiri untuk ikut menjadi bagiannya. Aku menengok podium tamu undangan. Air
mataku meleleh, ayah dan ibuku tak ada disana. Meski tadi pagi mereka tlah
menelpon untuk memberi selamat dan do’a, tapi, tetap saja aku menginginkan
kehadirannya. Tapi, yasudahlah, Spanyol itu memang jauh dari Jogja. Aku
memaklumi. Tapi, aku masih saja gusar menanti ucapan Feri. Aku tak bisa
memaklumi jika dia lupa, karena terakhir kali kita contact lewat sms, aku tlah
memberitahunya bahwa hari ini aku wisuda.
Aku turun dari mimbar
dengan tali topi toga yang sudah disilakan rektorku, Mr.Edward. Hpku bergetar.
Aku segera membukanya. Ternyata harapanku pupus lagi, bukan Feri yang hadir
lewat sinyal itu. Aku melihat jam. Jam menunjukkan pukul 10.15 a.m. 45 menit
lagi, batas penantianku. Upacara wisuda sudah dipenghujung acara. Akhirnya
wisudapun selesai jam 10.45 a.m. oh, 15 menit lagi!
Hiruk pikuk
teman-temanku tumpah ruah dipelataran kampus. Dalam kerumunan, aku berjalan
mencari-cari Caca. Tapi, gadis itu kini sulit dicari. Karena dengan seragam
sama seperti ini, aku sulit membedakan satu persatu. Jam menunjukkan 10.52 a.m.
HP ku masih bergeming untuk memunculkan nama Feri. Akhirnya aku menemukan Caca
tepat jam 10.57 a.m.
“Cacaaa !” teriakku
sambil berlari menghampirinya dan memeluknya
“Kara..!”
“Gimana Kar, Feri
udah ngasih ucapan?” tanya Kara begitu penasaran sambil melepaskan pelukanku.
Aku menggeleng lesu.
Kara melongok jam
tangannya. “Tenang Kar, masih ada 3 menit, ayo kita tunggu!”.
Aku dan Caca duduk.
Membuka tablet dan HP. Menanti detik-detik terakhir. Pukul 10.59. HPku berdering, ada sms. Tanganku
gemetar memegangnya.
“ayo buruan dibuka
Kar! Mesti dari Feri!”
“aku nggak berani
Ca.. aku takut kalau bukan, kamu aja deh yang buka”.
“Ah, Kara, nanti kamu
nyesel lho kalau ternyata itu beneran Feri! ayo gih, buruan!”
“takut!” aku
menggeleng-nggelengkan kepala
“Kara, kalau toh itu
bukan Feri, dunia belum berakhir Kar. Justru bagiku itu akan lebih baik. Karena
kamu akan membuka hidup baru tanpa harapan kosong tentang hadirnya”.
“yaudah, aku buka
ya!”. Perlahan aku membuka tombol buka kunci, dan open!
Tes.. kristal bening tiba-tiba meleleh
disudut mataku. SMS itu bukan dari Feri! dan kini waktu tlah menunjukkan pukul
11 a.m. aku memeluk Caca erat dan menangis terisak....
* * *
Hatiku masih tidak
karuan semenjak kejadian tadi. Ya, batas penantianku cukup sampai disini!
Sekarang pukul 1 p.m, 3 jam lagi aku akan pulang.
·
Ca, sebelum pulang, ayo tak ajak
ke La Rambla!
pintaku lewat sms.
Ø
Oke. Kapan?
·
Sekarang. Siap-siap ya, aku
langsung ke asramamu!
Ø
Oke
*
* *
Titik awal memasuki La Rambla,
tepatnya di depan Plaza Catalonia, aku dan Caca disambut ribuan burung dara yang
menari-nari dibawah terik surya. Berbondong-bondong menghampiri orang-orang
yang memberi makan. Di sepanjang jalan yang membentang dari Plaza Catalonia
hingga patung Columbus ini tumpah ruah oleh para tourist dan juga warga domestik. Sekedar nongkrong, ataupun
berjalan-jalan memanjakan mata. Maklum, ini sedang musim panas, waktu yang
tepat untuk berlibur. Suasana ini, membuatku teringat pada Malioboro, saat
sedang musim liburan sekolah atau tahun baru. Mungkin, Malioboro lebih padat
lagi dari ini, karena jalannya saja sudah sempit, belum lagi ditambah para
pemarkir liar, tukang becak dan tentu saja pejalan kaki yang berlalu lalang
itu. Berbeda dengan La Rambla yang memiliki luas lima puluh ribu meter persegi
ini. Konsep yang dibuat Francesc Nebot, sang arsitektur, begitu indah. Tak
hanya para penjual souvenir, binatang, snack, dll, yang menjadi jantung La
Rambla. Namun, disekelilingnya ada juga taman-taman dengan bunga beraneka
warna, patung-patung bahkan patung-patung jadian alias orang-orang yang
bertingkah seperti patung. Tentu saja ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
para pedestrian.
Aku mengajak Caca duduk di diatas
kursi rotan yang berada di depan ribuan merpati tadi.
“Ada apa sih Kar?” katanya sambil
menyilakan poninya
“nggak papa sih Ca.. aku cuman
pengen nulis sebentar. Kamu mau nunggu disini, apa jalan-jalan?”.
“ooh.. aku jalan-jalan aja ya, Kar..
itung-itung buat nikmatin indahnya Barcelona untuk terakhiir kali”.
“oke, sip!”.
Caca
meninggalkanku. Aku mengambil secarik kertas yang sudah kusiapkan dalam tas dan
pena ungu dalam disgrip.
Untuk Sang Inspirator..
Hari ini, tepatnya
2 jam lalu adalah batas penantianku.. batas penantian, untuk menantikan
kehadiranmu, untuk menantikan perasaan yang sama darimu. setelah hampir 9 tahun aku memendam rasa
padamu, kini cukup sampai disini perasaanku.
Aku lupa kapan tepatnya aku menyimpan perasaan
yang dalam ini untukmu. Yang aku tau, sejak pertama aku memakai seragam putih
abu-abu. Karena kamu yang pertama kali membuat hatiku berdesir tak karuan. Kamu
yang pertama membantuku saat aku kesusahan, menenangkanku saat aku kebingungan
dan menyemangati saat aku diujung keputus asaan.
Sang inspirator.
Andai kau tau, betapa bahagianya aku saat bertemu kamu, menerima smsmu bahkan
mendengar namamu saja. Aku tak mengerti, perasaan ini berdesir begitu derasnya
menghiasi hari-hariku, mewarnai hidupku
dan memenuh sesakkan hatiku. Tapi, akhi, kau
juga tak pernah mengerti, betapa sakit dan pedihnya aku saat aku tau polah-polah
penggemarmu bahkan mereka lebih dari mengidolakanmu. Tapi, mereka juga
mencintaimu. Seperti tertancap busur panah. Sakit, perih teramat sangat
menghujam jantungku. Juga kau tak pernah
tau, betapa jenuhnya aku menunggu smsmu datang di 19 kali kesempatan. 8 kali
saat hari ulangtahunku, 9 kali saat idul fitri, dan 2 kali saat wisudaku. Tapi,
semua nihil. Entah kamu lupa, entah kamu tak pernah mau tau, sepatah kata
selamatpun tak pernah ku dapatkan darimu. Lalu, kau juga tak pernah tau, betapa
bagiku, waktu tak ubahnya seperti seekor siput. Melaju pelan, amat lamban
ditengah penantianku. Dan parahnya perasaan ini jauh lebih pelan dari itu. Lebih
pelan dari laju reaksi bahkan jalannya liliput.
Akhi, aku tlah
lelah dengan semua ini. Lelah menanti dalam harapan kosongku. Mungkin, selama
ini aku hanya salah paham perasaan. Aku tlah menyalah artikan kebaikanmu padaku
menjadi benih-benih perasaan yang hinggap semerbak dalam singgasanaku. Semakin
hari, semakin besar, hingga aku tak sanggup menebang.
Namun, kini sebelum
aku terbunuh oleh perasaanku sendiri, tumbang oleh waktu, aku akan berusaha
sekuat tenaga untuk melupakanmu. Seperti dulu saat aku yakin, suatu saat kau
akan datang padaku meminangku, membawa cinta dan menjadikanku permaisuri
hatimu, kini, aku yakin aku pasti bisa melupakanmu.
Akhi, terimakasih
tak terhingga ku curahkan untukmu. Karena selama 9 tahun, kau telah menjadi
inpiratorku, mengubahku dalam banyak hal. Ini akan jadi diksi terakhir, goresan
pena terakhir, dariku untukmu. Untukmu yang tak pernah tau hatiku.
Semoga Allah selalu
meridhai setiap langkah-Mu, menjodohkan-Mu pada wanita yang jauh lebih baik
dariku, dan juga sebaliknya. J
Selamat tinggal
Feri, selamat tinggal inspiratorku..
Aku
lipat kertasku menjadi sebuah pesawat. Lalu, ku terbangkan ditengah ribuan
merpati yang sedang berlomba-lomba mengepakkan sayapnya. Biarlah perasaanku
terbang dan hilang bersama merpati itu. Biarlah ia lepas dan terbebas dari
belenggu hatiku.
Setelah
beberapa saat, kertasku terbang dan menghilang dari jangkauan mata. Angin yang
berhembus memang cukup kencang. Entah benda putih tipis itu kemana, semakin
jauh semakin baik. Karena lara hati dan segenap perasaanku tlah ku tumpahkan
dalam selembar kertas itu. Biar ia hilang bahkan lenyap oleh bumi.
Caca
tlah kembali dan kami segera pulang ke asrama mengambil koper, lalu, menuju
bandara. Kerinduanku pada kampung halaman tlah mencapai klimaks. Aku tak sabar
untuk bertemu keluargaku!
Good
bye, spanyol.. Indonesia, I’m coming!!
*
* *
Tiga
hari berlalu. Aku merasakan lagi kehangatan tanah air. Keramahan penduduk
pribumi. Dan yang pasti kesejukan kota Bandung. serta kebahagiaan tiada tara
bisa bercengkerama dengan keluargaku tercinta.
“kara,
bangun! Sholat subuh, terus bantuin bersih-bersih nanti!” suara ibuku menggema
dan membuatku membuka mata.
“iya,
ma!”
Aku
segera mengambil air wudhu, lalu bergegas menuju masjid sebelum qamat
berkumandang.
“ma,
tadi kok mama bilang mau bersih-bersih, emang mau ada siap?” tanyaku
diperjalanan pulang dari masjid
“oh,
nanti ada tamu spesial. Jadi, kita harus siap-siap.”
“tamu
spesial? Siapa ma?”.
“nanti
kamu juga tau..”
*
* *
Semua
sudah tertata rapi. Kami menunggu kedatangan tamu spesial, kata mama. Setelah setengah jam menunggu, akhirnya
ada sebuah mobil avanza yang mendekat
ke arah rumahku.
“nah,
itu dia pak Doni!” kata papa sambil beranjak dari tempat duduk.
Papa
dan mama dengan semangat keluar rumah.
Pak
doni? Siapa dia? Apa spesialnya? Ah, paling cuman temen lama papa. Males ah
keluar, nunggu disini aja. Pikirku dalam hati.
“Assalamu’alaikumm...”
sapa seorang perempuan paruh baya dengan jilbab bunga-bunga dan gamis pink
keluar dari mobil.
“wa’alaikumsalam
warahmatullah.. mari silahkan masuk”, jawab mama dengan ramah
Aku
mengamati dalam-dalam wajah ibu itu, seperti pernah melihatnya. Tapi, siapa?
Dimana? Aku benar-benar lupa.
“Assalamu’alaikum” sapa ibu itu masuk rumah.
“wa’alaikumsalam..
silahkan duduk bu..”, jawabku sambil tersenyum
“oh,
ini yang namanya Kara?”
“iya
bu..” jawab mama
“cantiknya..”
Aku
tersenyum simpul sambil tersipu malu.
“sana,
bikinin minum dulu Kar”, kata mama
“iya
ma..”
“Assalamu’alaikum..”,
sapa seseorang yang datang dengan suara berat, namun, ramah
“wa’alaikumsalam
warahmatullah.. mari-mari silahkan masuk”, suara mama menyeimbangkan keramahan.
Langkahku
terhenti, aku membalikkan pandangan ke arah ruang tamu.
“apaa?”
aku tertegun sendiri. Tangan dan kakiku gemetar seperti tak sanggup menyanggah
badan. Mataku berhenti berkedip, mulutku melongo.
Mereka
yang diruang tamu melanjutkan dengan percakapan-percakapan ringan.
Aku
masih berdiri tertegun. Akhirnya aku sadar dari lamunanku saat aku dipanggil
papa.
“kara..”
“i..
ii.. ya pa..” jawabku gugup.
Aku
tidak melanjutkan menuju dapur. Aku melangkah gemetar ke ruang tamu dengan
degup jantung yang hampir seperti mau copot.
“nah,
Kara sudah kenal kan sama ini?” tanya papa menunjuk seorang pemuda yang duduk
disebelahnya.
Pemuda
itu tersenyum manis. Sumpah, manis sekali! Dan hatiku? ohh, semakin rusuh,
seperti genderang perang.
Aku
menunduk tak berani melihatnya lagi, daripada aku malah semaput dengan kharismanya.
“i..
i.. ya”, aduh jawabku terbata-bata, benar-benar salting!
“siapa
coba namanya?”, kata mama menggoda
“Fe...
fe.. fe.. feri..”, jawabku terbata-bata lagi. Oh, tidak!!
“sini duduk sini dulu, biar mama aja
yang ambil minum”.
Aku duduk gemetar. Ini benar-benar
seperti mimpi. Aku mencubit tanganku. Aw, sakit! Berarti.. ini bukan mimpi!
Setelah duduk, aku mulai mencair.
Menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati.
Setelah beberapa saat percakapan
ringan, Bapak yang duduk diantara pak Doni dan Feri mulai mengangkat
pembicaraan serius. Seketika hening. Semua yang ada diruang tamu ini memperhatikan
dengan seksama.
“begini bapak Irsyad sekeluarga,
saya mewakili Pak Doni sekeluarga, yang pertama ingin bersilaturahmi. Yang
kedua ingin menambah tali persaudaraan. Kami berencana meminang putri Anda,
Kara Zahratunnisa dengan keponakan saya ini, Feri Prasetyo. Apakah bapak dan
ibu sekeluarga bersedia menerima lamaran kami?”
Tiba-tiba ada kristal bening yang
menetes disudut mataku. Ya Allah, aku benar-benar tak percaya! Ya Allah, Ya
Rabb, selama ini Engkau memang mendengar semua keluh kesahku. Maha Mengerti
semua yang kurasakan. Dan ini... jawaban luar biasa indah dalam skenario-Mu. Ya
Allah, terimakasih.. Alhamdulillahirobbil’alamin.. bisik dalam hati
“kalau saya sih, boleh-boleh saja.
Tapi, ya tergantung anak saya ini saja. Yang akan menjalani ke depannya kan
mereka. Gimana Kara? Apa kamu bersedia?”
Aku menunduk dan mengangguk
pelaan... penantian ini... batas penantianku bukan tiga hari yang lalu. Ya,
tapi, hari ini. Penantian yang berakhir bahagia. Ternyata Feri memang
menungguku hingga hari ini. Ia ingin bunganya mekar sempurna, lalu setelah itu
ia baru berani memetiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar