Suasana hening
seketika. Semua perhatian memusat disudut pintu. Tiga puluh satu pasang mata
tertuju pada seorang guru dengan PSH abu-abu berpadu jilbab hitam yang kini
berdiri didepan kelas.
“Maaf mengganggu sebentar, Pak.” Kata
bu Lina pada Pak Doni yang sedang duduk dikursi guru.
“iya, silahkan bu..” jawab Pak
Doni ramah
Bu Lina mengangkat selembar
kertas putih dengan tangan kirinya, sambil memegang bolpoin ditangan kanan.
“anak-anak, ini menyangkut tes
psikologi kemarin. Akan diselenggarakan
tanggal 16, setelah terima rapor. Bayarnya tetap 250 ribu. Ini saya panggil
satu-satu yang kemarin ndaftar, jadi ikut apa tidak, gitu ya?”
“ya, bu..” jawab murid-murid
sekelas.
Di sudut kelas, jantung Kara tiba-tiba berdegup kencang. Ia
baru sadar, ia belum izin pada bapaknya, padahal ia sudah mendaftar. Saat itu, bapaknya masih ditanah suci, ia
berencana meminta izin saat sudah pulang kemarin, tapi, lagi-lagi sifat
pikunnya kumat lagi! ia benar-benar lupa membicarakan ini pada bapaknya.
Alhasil, kini, ia ragu, bingung, tapi, harus memberi kepastian.
“Rafael Ananta?” tanya bu Lina mulai memanggil satu persatu
“jadi, bu”
jawab Rafael yakin.
“aduh, gawat gimana ini?” gumam
Kara dalam hati
“Saskia Tina?”
“jadi”
“Tiara Amelia?”
“jadi”
“Arya Kurniawan?”
“jadi”
...................................
“jadi” jawab Kara akhirnya, meski
setengah yakin
“paling kalau aku minta baik-baik
sambil sedikit memelas sama bapak, mesti dikasih”, gumam Kara dalam hati
mencoba meyakinkan diri sendiri.
* * *
“Assalamu’alaikum..” sapa Kara,
berjalan memasuki rumahnya.
“Wa’alaikumsalam”, jawab bapak
dan ibunya yang sedang duduk santai diruang tamu.
“sana makan dulu. Ada ayam sama
sayur asam”, kata ibunya
“iya”
Setelah meletakkan tas, melepas
sepatu dan jilbab serta berganti baju, ia berniat melakukan suatu hal. Hal yang
sedari tadi memenuhi otaknya dan membuat hatinya tidak karuan, bagai bumerang
yang menjajah kedamaiannya. Apalagi, jika bukan meminta izin!
Dengan memberanikan diri, ia
mulai angkat bicara.
“pak,aku boleh ikut tes psikologi
nggak?”
“halah, nggak usah. Itu nggak
penting, nggak ada pengaruhnya juga”, jawab bapaknya membuat prediksi Kara
limid mendekati salah.
“tapi, itu tesnya bagus dan
akurat banget kok. Tesnya aja sampai 7 jam. Dan hasilnya buat cari tau
kemampuan kita, jadi, besok bisa jadi
acuan buat pilih jurusan kuliah”, kata Kara menjelaskan panjang lebar kali
tinggi, berharap agar bapaknya mengizinkan.
“yang tau kemampuan kamu itu, ya
kamu sendiri. Ngapain harus tes begituan?”
“tapi, aku dah terlanjur
ndaftar?”
“ya terserah kalau gitu, emang
bayarnya berapa?”
Bibir Kara gemetar. Ngilu untuk
menjawab. Takut, dan firasatnya buruk. Pasti setelah ia menyebutkan nominalnya,
nggak akan dapat izin,prasangkanya.
Sambil memberanikan diri, ia
menjawab lirih, “Dua ratus lima puluh ribu”.
“Apa? Dua ratus lima puluh ribu?
Nggak, bapak nggak mau! Mahal banget? Padahal itu nggak penting! Batalin aja!”,
jawab bapaknya dengan nada tinggi, klimaks dan mata melotot.
“aih, mbok nggak papa. Cuma sekali we..” pintanya memelas.
“Nggak mau! Nggak punya uang!”
“iya, kar, kalau buat beli buku
apa mbayar try out, apa ndaftar kuliah gitu nggak papa. Tapi, kalau cuma buat
kaya’ gitu, ya eman-eman uangnya”, kata ibunya ikut mengomentari.
“Nah, bener tuh..”, kata bapaknya
mengangguk-angguk,tanda setuju.
“tapi, katanya kalau udah ndaftar
nggak boleh mbatalin”, alasannya menutupi kejadian tadi siang. Padahal, karena
sebenarnya ia sudah memberi kepastian untuk jadi ikut. Pasti, sudah tertulis
dan didaftarkan ke pihak psikolog, pikirnya.
“lha kamu itu, bikin keputusan
kok sendiri. Ya, besok bilang mau mbatalin! Mesti, temen-temenmu juga ada yang
bapaknya nggak setuju”.
“nggak.. semuanya setuju kok”.
“ya, terserah. Pokonya aku nggak
mau mbayari”, tukas bapaknya.
Kara hanya diam, cemberut lalu
pergi dari ruang tamu.
“gimana caranya dapet 250 ribu
dalam waktu 2 minggu ya?” tanya Kara dalam hati sambil mengaduk-aduk makan
siang yang baru saja ia ambil.
“Apa aku harus pinjem uang? Aaah,
nggak mau. Bagaimanapun keadaannya, aku nggak mau jadi orang minta-minta”,
gumamnya lirih sambil melahap ayam
goreng yang sudah terjepit garpu ditangan kanannya.
Pikirannya terus melayang-layang
mencari sebuah ide untuk mendapatkan uang. Ia lalu berpikir untuk berkarya. Ya,
ia memang sedikit kreatif. Ia sering membuat karya. Dari mulai karya sastra,
hasta karya, desain-desain lewat corel ataupun manual tangan.
“tapi, kalau karya sastra dikirim
dimana? Kalau lewat SOLOPOS, masih
nunggu seminggu dimuatnya, dan seminggu lagi baru dapet uang. Nggak cukup dong
waktunya! Hmmm, apa bikin desain ya? Dulu itu kan pas bikinin desain buat tugas
kuliah mbak Lena, katanya, ada temennya mbak Lena yang rela bayar 30 ribu buat
dibuatin desain. Nah, lumayan tuh, kalau aku bikin 2 udah dapet 60 ribu”, Kara tersenyum
sendiri dengan idenya
Tapi, akhirnya ia ingat. Ia hanya
tinggal disebuah kota kecil. Universitas dikotanya saja bisa dihitung jari.
Lagipula belum tentu juga sekarang ada mahasiswa yang sedang diberi tugas itu.
huft, ia harus mencari ide lagi!
“apa, ngeles privat bocah aja,
ya? Tapi siapa yang tak lesin? Lagian, seminggu lagi aku UAS, nanti bakalan
ngganggu belajar malah. Hmm, apa ya? Ya Allah, bantulah hamba....” ia terus
mencaricari ide, hingga akhirnya..
“ahaa! Aku jualan flanel lagi
aja! Bahan-bahannya kan juga masih banyak diatas!”. Ia lalu segera membawa
piring kosongnya ke dapur, cuci tangan dan menuju kamar atas.
Ia membuka sebuah kardus besar
dibawah almari belajarnya. Didalamnya masih banyak kain flanel warna-warni, benang,
pita, dll, sisa bahan-bahan bisnisnya dulu. Bisnis yang macet, karena ia orang moody. Kalau moodnya baik dan
bersemangat, ya, membuat banyak pin dan gantungan kunci lalu menjualnya, tapi,
kalau sudah malas dan bosan, ya, menutupnya rapat-rapat dan tidak menyentuhnya
sedikitpun. Ia mengecheck satu persatu. Ternyata, ada beberapa bahan yang habis.
Dengan semangat 45, ia langsung bergegas membeli bahan yang kurang.
* * *
Kara telah sampai ditoko aksesoris, setelah,
ia memilih bahan-bahan yang ia beli, ia segera menuju kasir. Kara membuka
dompet. Dilihatnya lembar-lembar kertas yang tertata horisontal rapi. Mencoba
menghitung total semua. Ternyata, ada sekitar 100 ribu..
kalau ini untuk mbayar, berarti
kurang 150 ribu! Gumamnya dalam hati.
Tapi, ternyata ia harus merelakan
25 ribu melayang untuk membayar. Ya, berarti sekarang kurang 175 ribu untuk
mencapai 250 ribu!
* * *
Sesampai dirumah, Kara segera membawa semua
bahan yang dibeli ke kamar atas. Dan, saatnya untuk berkarya! Satu persatu kain
flanel berbentuk persegi digunting sesuai pola. Lalu, dijahit dengan tangan.
Dimasukkan dakron. Dipasang peniti. Dan, jadilah satu buah pin berbentuk
keropi.
Dengan sabar dan telaten, Kara
mengubah kain flanel itu menjadi lebih bermakna. Hingga jadilah beberapa pin dan
gantungan kunci dengan bentuk yang berbeda.
Memang, butuh waktu cukup lama, untuk menyelesaikan satu buah saja.
Tapi, demi 175 ribu ia bertekad untuk mengerjakan ini sampai titik darah
penghabisannya.
Saat mengerjakan itu semua, sejak
awal menggunting kain hingga memasang peniti ataupun gantungan kunci, Kara tak
henti-hentinya membaca dalam hati “Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula
wa ni’mannasiir” (Cukuplah Allah menjadi pelindung bagi kita. Dan (Dialah)
sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong). Kara ingat kata-kata ibunya dulu :
“Setiap pagi, ibu pasti selalu
baca Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal
maula wa ni’mannasiir. kalau ibu lagi nggak punya uang, eh, Alhamdulillah
Allah selalu mencukupi..”
Kara yakin, rezeki itu datang
dari Allah, jika, ia berusaha hingga berpeluh keringat, bersimbah darah
sekalipun, jika Allah tidak meridhai, maka, tak akan ada rezeki untuknya.
* * *
Pagi buta Kara bangun. Setelah
sholat tahajud, ia segera belajar karena akan ada ulangan siang nanti. Ya, tadi
malam tentu saja ia tidak sempat belajar. Karena hingga larut, ia masih
menyelesaikan jobnya itu.
Alhamdulillah, udah dapet 14 pin
dan gantungan kunci. Bismillah, Ya Allah, semoga nanti laku. Gimana kalau
promosinya, aku sms aja ya? Iya deh, biar pada bawa uang juga. Hehe. Gumamnya,
dan segera meraih HP untuk mengirim sms ke teman-teman cewek sekelasnya.
* * *
Sampailah ia dikelas. Kara
melihat ke semua penjuru kelas. Semua sedang sibuk membaca buku. Waktu tidak
tepat untuk promosi! Akhirnya ia memutuskan nanti istirahat.
Istirahat pertama, Kara sholat
dhuha. Kara juga yakin, sholat dhuha juga salah satu cara mengetuk rezeki
Allah, selain sedekah dan bacaan Hasbunallah
itu..
Sesudah sholat, lagi-lagi temannya
juga masih sibuk membaca buku. Menyiapkan
ulangan karena setelah istirahat inilah ulangan dilaksanakan. Kara mengurungkan
niat untuk berjualan, iapun ikut berkecimpung dengan buku-buku.
Istirahat kedua, Kara segera
sholat dzuhur. Usai sholat, Kara bersemangat untuk berjualan!
Dikelas, ternyata teman-temannya
juga masih sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi, kebanyakan kini bukan
membaca buku lagi. Mereka sibuk menggambar proyeksi, tugas seni rupa. Kara sedikit
ragu, tapi, kapan lagi? ia harus segera menjualkannya karena ia harus segera
mendapat uang.
Akhirnya Kara mendekati satu
persatu meja teman-temannya.
“Ara, Ratna, ini aku jualan lho..
mau lihat-lihat nggak?”
“oh, ya, lihat dulu dong Kar”,
kata Ratna sambil meletakkan pensil gambarnya.
“ini..”, Kara mengeluarkan semua
isi dari tas kresek hijau yang dibawanya.
Ara dan Ratna melihat satu
persatu karyanya.
“oya, bisa pesen sesuai bentuk
dan warna yang kalian pengen juga kok”.
“oh, kalau gitu aku pesen
gantungan huruf ya. Hurufnya H. Hiasannya apa ya? Hmm, nanti aku gambarin dulu
aja ya, Kar. Bisa kan?”, tanya Ratna
“oke, bisa-bisa”.
“hmmm, aku mau
yang ini sama ini, Kar. Berapa?”, tanya Ara sambil mengambil pin pita dan
lolipop.
“itu.. 4 ribu
Ar”.
“oke, ini”,
Ara memberikan uang
“makasih ya
Ar..” Kara tersenyum bahagia. Ini pembeli pertamanya. Alhamdulillah,
terimakasih Ya Rabb.. bisiknya dalam hati
Kara lalu
berputar. Menuju meja satu ke meja yang lain untuk menjual dagangannya.
Lagi-lagi, ia bersyukur dalam hati, karena ada teman-temannya yang memesan
beberapa gantungan kunci. Ia bahagia tiada tara.
* * *
Tiga hari berlalu. Ia berhasil mengumpulkan 62
ribu. Tapi, jangan salah, tidak semua dari hasil penjualan. Dari penjualan baru
12ribu. 50ribu ia dapat dari ibunya. Kara menceritakan semuanya pada ibunya,
dan ibunya akhirnya membantu dengan memberikan 50 ribu. Meskipun begitu, kara
sangat senang. Dan terus berusaha dengan mini bisnisnya itu.
* * *
Hari ini hari
sabtu. Para siswa diminta belajar dirumah karena senin mereka harus menghadapi
UAS, Ulangan Akhir Semester. Banyak siswa yang sudah pulang, namun, tak sedikit
pula yang masih berada disekolah, termasuk Kara dan teman-temannya. Kara keluar
kelas. Ia menengok kanan-kiri. Ia melihat masih banyak siswi yang menggerombol
diluar. Kesempatan untuk berbisnis!
Kara menuju
depan kelas sebelah. Kelas yang tepat berada di kanan kelasnya.
“hmmm,
Assalamu’alaikum.. permisi.. mau lihat-lihat nggak?”, katanya sambil
mengeluarkan barang-barang dagangannya.
............................
Terik semakin
menyengat. Mentari semakin gagah menyinari pertiwi. Bulir-bulir keringat Kara
mulai menetes. Kara terus mendekati satu persatu para siswi yang mengelompok
duduk-duduk didepan teras kelas. Dalam hati, bacaan Hasbunallah
wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannasiir tak pernah terhenti. Namun,
kini belum menjadi rezekinya. Dari banyak siswi yang ia tawari, hanya satu yang
memesan. Tapi, tak apa ia tetap bersyukur.
* * *
Tanggal 3
desember. Tes Akhir Semester dimulai. Kara memutuskan untuk fokus belajar,
meskipun, ia mencuri-curi waktu untuk membuat pesanan temannya. Tapi, ia
bertekad berhenti berpromosi, ia tak mau menyita waktunya untuk bisnisnya ini.
bagaimanapun, kewajibannya sebagai pelajar adalah belajar.
Hari pertama
tes terlewati.
“Alhamdulillah,
aku tadi lancar, May. Kamu gimana?”, tanya Kara di perjalanan pulang bersama
Maya.
“Alhamdulillah,
aku juga..”, jawabnya sambil melanjutkan menyetir motor didepan.
“eh, by the
way, kamu ikut tes psikologi nggak, May?”
“nggak tau i..
aku pengen, tapi, belum ndaftar.. lha kamu?”
“aku ikut..
lhoh bukannya kemarin dah didata siapa aja yang mau ikut ya?”
“iya, tapi,
aku kemarin belum sempet daftar padahal pengen”.
“aku malah
lagi bingung, aku kemarin izin bapakku, tapi, malah nggak boleh. Dan nggak
dikasih uang. Makanya, aku sekarang lagi nabung dan cari uang”, kataku sambil
turun dari motor karena telah sampai rumah Maya.
“lhoh, lha
emang kenapa nggak boleh?”
“nggak tau,
katanya yang tau kemampuan kita ya kita sendiri. Menurutku bener juga”.
“ya, belum
tentu. Buktinya aku belum tau, makanya pengen ikut. Eh, ya tempatmu tak ganti
aja?!”
“hah, emang
boleh?”
“ya bolehlah.
Mesti kan yang penting ada orangnya. Jadi kalau dibatalin, ada gantinya”.
“wah, iya juga
ya! yang bener May? Kamu mau ngganti?”
“iya, nggak
papa. Tapi, aku ngomong bapak-ibuku dulu ya, boleh nggak?!”
“Alhamdulillah..
oke siap, nanti sms ya, boleh nggak”.
“oke”.
“yaudah, tak
pulang dulu ya.. Assalamu’alaikum..”
“wa’alaikumsalam...”
* * *
Malam harinya,
Kara segera sms Maya.
May, gimana boleh nggak? Jadi ikut tes
psikologikah? J
Selang
beberapa menit, HP Kara berdering. Maya membalas.
Boleh boleh aja sih Kar. Tapi, masalahnya
ortu lagi nggak ada duit. Tapi, nggak papa, besok aku bisa ambil tabungan kok”.
* * *
Akhirnya
tanggal 10 desember, usai UAS, Maya mendaftarkan diri ke bu Azizah, selaku
panitia tes psikologi. Dan Kara memberitahu bu Azizah bahwasanya ia digantikan
Maya.
“boleh kan
bu?”, tanya Kara
“iya, boleh.
Ibu catat dulu ya”, Bu Azizahpun mencatatnya di halaman paling belakang buku
kwitansi.
Subhanallah walhamdulillaaah.. inilah
cara Allah menjawab semuanya. Tentu saja ini bukan sebuah kebetulan. Jika Allah
berkehendak, pasti Kara udah ndaftar dari kemarin. Tapi, nyatanya ada Kara yang
menggantikanku.. Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah... bisik Kara dalam hati
penuh kesyukuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar