Selasa, 11 Desember 2012

Hasbunallah wa ni'mal wakiil


Suasana hening seketika. Semua perhatian memusat disudut pintu. Tiga puluh satu pasang mata tertuju pada seorang guru dengan PSH abu-abu berpadu jilbab hitam yang kini berdiri didepan kelas.
“Maaf mengganggu sebentar, Pak.” Kata bu Lina pada Pak Doni yang sedang duduk dikursi guru.
“iya, silahkan bu..” jawab Pak Doni ramah
Bu Lina mengangkat selembar kertas putih dengan tangan kirinya, sambil memegang bolpoin ditangan kanan.
“anak-anak, ini menyangkut tes psikologi  kemarin. Akan diselenggarakan tanggal 16, setelah terima rapor. Bayarnya tetap 250 ribu. Ini saya panggil satu-satu yang kemarin ndaftar, jadi ikut apa tidak, gitu ya?”
“ya, bu..” jawab murid-murid sekelas.
Di sudut kelas,  jantung Kara tiba-tiba berdegup kencang. Ia baru sadar, ia belum izin pada bapaknya, padahal ia sudah mendaftar.  Saat itu, bapaknya masih ditanah suci, ia berencana meminta izin saat sudah pulang kemarin, tapi, lagi-lagi sifat pikunnya kumat lagi! ia benar-benar lupa membicarakan ini pada bapaknya. Alhasil, kini, ia ragu, bingung, tapi, harus memberi kepastian.
“Rafael Ananta?”  tanya bu Lina mulai memanggil satu persatu
“jadi, bu” jawab Rafael yakin.                
“aduh, gawat gimana ini?” gumam Kara dalam hati
“Saskia Tina?”
“jadi”
“Tiara Amelia?”
“jadi”
“Arya Kurniawan?”
“jadi”
...................................
“Kara Az-zahra?”
“jadi” jawab Kara akhirnya, meski setengah yakin
“paling kalau aku minta baik-baik sambil sedikit memelas sama bapak, mesti dikasih”, gumam Kara dalam hati mencoba meyakinkan diri sendiri.
* * *
“Assalamu’alaikum..” sapa Kara, berjalan memasuki rumahnya.
“Wa’alaikumsalam”, jawab bapak dan ibunya yang sedang duduk santai diruang tamu.
“sana makan dulu. Ada ayam sama sayur asam”, kata ibunya
“iya”
Setelah meletakkan tas, melepas sepatu dan jilbab serta berganti baju, ia berniat melakukan suatu hal. Hal yang sedari tadi memenuhi otaknya dan membuat hatinya tidak karuan, bagai bumerang yang menjajah kedamaiannya. Apalagi, jika bukan meminta izin!
Dengan memberanikan diri, ia mulai angkat bicara.
“pak,aku boleh ikut tes psikologi nggak?”
“halah, nggak usah. Itu nggak penting, nggak ada pengaruhnya juga”, jawab bapaknya membuat prediksi Kara limid mendekati salah.
“tapi, itu tesnya bagus dan akurat banget kok. Tesnya aja sampai 7 jam. Dan hasilnya buat cari tau kemampuan kita, jadi, besok bisa  jadi acuan buat pilih jurusan kuliah”, kata Kara menjelaskan panjang lebar kali tinggi, berharap agar bapaknya mengizinkan.
“yang tau kemampuan kamu itu, ya kamu sendiri. Ngapain harus tes begituan?”
“tapi, aku dah terlanjur ndaftar?”
“ya terserah kalau gitu, emang bayarnya berapa?”
Bibir Kara gemetar. Ngilu untuk menjawab. Takut, dan firasatnya buruk. Pasti setelah ia menyebutkan nominalnya, nggak akan dapat izin,prasangkanya.
Sambil memberanikan diri, ia menjawab lirih, “Dua ratus lima puluh ribu”.
“Apa? Dua ratus lima puluh ribu? Nggak, bapak nggak mau! Mahal banget? Padahal itu nggak penting! Batalin aja!”, jawab bapaknya dengan nada tinggi, klimaks dan mata melotot.
“aih, mbok nggak papa. Cuma sekali we..” pintanya memelas.
“Nggak mau! Nggak punya uang!”
“iya, kar, kalau buat beli buku apa mbayar try out, apa ndaftar kuliah gitu nggak papa. Tapi, kalau cuma buat kaya’ gitu, ya eman-eman uangnya”, kata ibunya ikut mengomentari.
“Nah, bener tuh..”, kata bapaknya mengangguk-angguk,tanda setuju.
“tapi, katanya kalau udah ndaftar nggak boleh mbatalin”, alasannya menutupi kejadian tadi siang. Padahal, karena sebenarnya ia sudah memberi kepastian untuk jadi ikut. Pasti, sudah tertulis dan didaftarkan ke pihak psikolog, pikirnya.
“lha kamu itu, bikin keputusan kok sendiri. Ya, besok bilang mau mbatalin! Mesti, temen-temenmu juga ada yang bapaknya nggak setuju”.
“nggak.. semuanya setuju kok”.
“ya, terserah. Pokonya aku nggak mau mbayari”, tukas bapaknya.
Kara hanya diam, cemberut lalu pergi dari ruang tamu.
“gimana caranya dapet 250 ribu dalam waktu 2 minggu ya?” tanya Kara dalam hati sambil mengaduk-aduk makan siang yang baru saja ia ambil.
“Apa aku harus pinjem uang? Aaah, nggak mau. Bagaimanapun keadaannya, aku nggak mau jadi orang minta-minta”, gumamnya  lirih sambil melahap ayam goreng yang sudah terjepit garpu ditangan kanannya.
Pikirannya terus melayang-layang mencari sebuah ide untuk mendapatkan uang. Ia lalu berpikir untuk berkarya. Ya, ia memang sedikit kreatif. Ia sering membuat karya. Dari mulai karya sastra, hasta karya, desain-desain lewat corel ataupun manual tangan.
“tapi, kalau karya sastra dikirim dimana? Kalau lewat SOLOPOS, masih nunggu seminggu dimuatnya, dan seminggu lagi baru dapet uang. Nggak cukup dong waktunya! Hmmm, apa bikin desain ya? Dulu itu kan pas bikinin desain buat tugas kuliah mbak Lena, katanya, ada temennya mbak Lena yang rela bayar 30 ribu buat dibuatin desain. Nah, lumayan tuh, kalau aku bikin 2 udah dapet 60 ribu”, Kara tersenyum sendiri dengan idenya
Tapi, akhirnya ia ingat. Ia hanya tinggal disebuah kota kecil. Universitas dikotanya saja bisa dihitung jari. Lagipula belum tentu juga sekarang ada mahasiswa yang sedang diberi tugas itu. huft, ia harus mencari ide lagi!
“apa, ngeles privat bocah aja, ya? Tapi siapa yang tak lesin? Lagian, seminggu lagi aku UAS, nanti bakalan ngganggu belajar malah. Hmm, apa ya? Ya Allah, bantulah hamba....” ia terus mencaricari ide, hingga akhirnya..
“ahaa! Aku jualan flanel lagi aja! Bahan-bahannya kan juga masih banyak diatas!”. Ia lalu segera membawa piring kosongnya ke dapur, cuci tangan dan menuju kamar atas.
Ia membuka sebuah kardus besar dibawah almari belajarnya. Didalamnya masih banyak kain flanel warna-warni, benang, pita, dll, sisa bahan-bahan bisnisnya dulu. Bisnis yang macet, karena ia orang moody. Kalau moodnya baik dan bersemangat, ya, membuat banyak pin dan gantungan kunci lalu menjualnya, tapi, kalau sudah malas dan bosan, ya, menutupnya rapat-rapat dan tidak menyentuhnya sedikitpun.  Ia mengecheck satu persatu. Ternyata, ada beberapa bahan yang habis. Dengan semangat 45, ia langsung bergegas membeli bahan yang kurang.
* * *
 Kara telah sampai ditoko aksesoris, setelah, ia memilih bahan-bahan yang ia beli, ia segera menuju kasir. Kara membuka dompet. Dilihatnya lembar-lembar kertas yang tertata horisontal rapi. Mencoba menghitung total semua. Ternyata, ada sekitar 100 ribu..
kalau ini untuk mbayar, berarti kurang 150 ribu!  Gumamnya dalam hati.
Tapi, ternyata ia harus merelakan 25 ribu melayang untuk membayar. Ya, berarti sekarang kurang 175 ribu untuk mencapai 250 ribu!
* * *
 Sesampai dirumah, Kara segera membawa semua bahan yang dibeli ke kamar atas. Dan, saatnya untuk berkarya! Satu persatu kain flanel berbentuk persegi digunting sesuai pola. Lalu, dijahit dengan tangan. Dimasukkan dakron. Dipasang peniti. Dan, jadilah satu buah pin berbentuk keropi.
Dengan sabar dan telaten, Kara mengubah kain flanel itu menjadi lebih bermakna. Hingga jadilah beberapa pin dan gantungan kunci dengan bentuk yang berbeda.  Memang, butuh waktu cukup lama, untuk menyelesaikan satu buah saja. Tapi, demi 175 ribu ia bertekad untuk mengerjakan ini sampai titik darah penghabisannya.
Saat mengerjakan itu semua, sejak awal menggunting kain hingga memasang peniti ataupun gantungan kunci, Kara tak henti-hentinya membaca dalam hati “Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannasiir” (Cukuplah Allah menjadi pelindung bagi kita. Dan (Dialah) sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong).  Kara  ingat kata-kata ibunya dulu :
“Setiap pagi, ibu pasti selalu baca Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannasiir. kalau ibu lagi nggak punya uang, eh, Alhamdulillah Allah selalu mencukupi..”
Kara yakin, rezeki itu datang dari Allah, jika, ia berusaha hingga berpeluh keringat, bersimbah darah sekalipun, jika Allah tidak meridhai, maka, tak akan ada rezeki untuknya.
* * *
Pagi buta Kara bangun. Setelah sholat tahajud, ia segera belajar karena akan ada ulangan siang nanti. Ya, tadi malam tentu saja ia tidak sempat belajar. Karena hingga larut, ia masih menyelesaikan jobnya itu.
Alhamdulillah, udah dapet 14 pin dan gantungan kunci. Bismillah, Ya Allah, semoga nanti laku. Gimana kalau promosinya, aku sms aja ya? Iya deh, biar pada bawa uang juga. Hehe. Gumamnya, dan segera meraih HP untuk mengirim sms ke teman-teman cewek sekelasnya.
* * *
Sampailah ia dikelas. Kara melihat ke semua penjuru kelas. Semua sedang sibuk membaca buku. Waktu tidak tepat untuk promosi! Akhirnya ia memutuskan nanti istirahat.
Istirahat pertama, Kara sholat dhuha. Kara juga yakin, sholat dhuha juga salah satu cara mengetuk rezeki Allah, selain sedekah dan bacaan Hasbunallah itu..
Sesudah sholat, lagi-lagi temannya juga masih sibuk membaca buku.  Menyiapkan ulangan karena setelah istirahat inilah ulangan dilaksanakan. Kara mengurungkan niat untuk berjualan, iapun ikut berkecimpung dengan buku-buku.
Istirahat kedua, Kara segera sholat dzuhur. Usai sholat, Kara bersemangat untuk berjualan!
Dikelas, ternyata teman-temannya juga masih sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi, kebanyakan kini bukan membaca buku lagi. Mereka sibuk menggambar proyeksi, tugas seni rupa. Kara sedikit ragu, tapi, kapan lagi? ia harus segera menjualkannya karena ia harus segera mendapat uang.
Akhirnya Kara mendekati satu persatu meja teman-temannya.
“Ara, Ratna, ini aku jualan lho.. mau lihat-lihat nggak?”
“oh, ya, lihat dulu dong Kar”, kata Ratna sambil meletakkan pensil gambarnya.
“ini..”, Kara mengeluarkan semua isi dari tas kresek hijau yang dibawanya.
Ara dan Ratna melihat satu persatu karyanya.
“oya, bisa pesen sesuai bentuk dan warna yang kalian pengen juga kok”.
“oh, kalau gitu aku pesen gantungan huruf ya. Hurufnya H. Hiasannya apa ya? Hmm, nanti aku gambarin dulu aja ya, Kar. Bisa kan?”, tanya Ratna
“oke, bisa-bisa”.
“hmmm, aku mau yang ini sama ini, Kar. Berapa?”, tanya Ara sambil mengambil pin pita dan lolipop.
“itu.. 4 ribu Ar”.
“oke, ini”, Ara memberikan uang
“makasih ya Ar..” Kara tersenyum bahagia. Ini pembeli pertamanya. Alhamdulillah, terimakasih Ya Rabb.. bisiknya dalam hati
Kara lalu berputar. Menuju meja satu ke meja yang lain untuk menjual dagangannya. Lagi-lagi, ia bersyukur dalam hati, karena ada teman-temannya yang memesan beberapa gantungan kunci. Ia bahagia tiada tara.
* * *
 Tiga hari berlalu. Ia berhasil mengumpulkan 62 ribu. Tapi, jangan salah, tidak semua dari hasil penjualan. Dari penjualan baru 12ribu. 50ribu ia dapat dari ibunya. Kara menceritakan semuanya pada ibunya, dan ibunya akhirnya membantu dengan memberikan 50 ribu. Meskipun begitu, kara sangat senang. Dan terus berusaha dengan mini bisnisnya itu.
* * *
Hari ini hari sabtu. Para siswa diminta belajar dirumah karena senin mereka harus menghadapi UAS, Ulangan Akhir Semester. Banyak siswa yang sudah pulang, namun, tak sedikit pula yang masih berada disekolah, termasuk Kara dan teman-temannya. Kara keluar kelas. Ia menengok kanan-kiri. Ia melihat masih banyak siswi yang menggerombol diluar. Kesempatan untuk berbisnis!
Kara menuju depan kelas sebelah. Kelas yang tepat berada di kanan kelasnya.
“hmmm, Assalamu’alaikum.. permisi.. mau lihat-lihat nggak?”, katanya sambil mengeluarkan barang-barang dagangannya.
............................
Terik semakin menyengat. Mentari semakin gagah menyinari pertiwi. Bulir-bulir keringat Kara mulai menetes. Kara terus mendekati satu persatu para siswi yang mengelompok duduk-duduk didepan teras kelas. Dalam hati, bacaan  Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannasiir tak pernah terhenti. Namun, kini belum menjadi rezekinya. Dari banyak siswi yang ia tawari, hanya satu yang memesan. Tapi, tak apa ia tetap bersyukur.
* * *
Tanggal 3 desember. Tes Akhir Semester dimulai. Kara memutuskan untuk fokus belajar, meskipun, ia mencuri-curi waktu untuk membuat pesanan temannya. Tapi, ia bertekad berhenti berpromosi, ia tak mau menyita waktunya untuk bisnisnya ini. bagaimanapun, kewajibannya sebagai pelajar adalah belajar.
Hari pertama tes terlewati.
“Alhamdulillah, aku tadi lancar, May. Kamu gimana?”, tanya Kara di perjalanan pulang bersama Maya.
“Alhamdulillah, aku juga..”, jawabnya sambil melanjutkan menyetir motor didepan.
“eh, by the way, kamu ikut tes psikologi nggak, May?”
“nggak tau i.. aku pengen, tapi, belum ndaftar.. lha kamu?”
“aku ikut.. lhoh bukannya kemarin dah didata siapa aja yang mau ikut ya?”
“iya, tapi, aku kemarin belum sempet daftar padahal pengen”.
“aku malah lagi bingung, aku kemarin izin bapakku, tapi, malah nggak boleh. Dan nggak dikasih uang. Makanya, aku sekarang lagi nabung dan cari uang”, kataku sambil turun dari motor karena telah sampai rumah Maya.
“lhoh, lha emang kenapa nggak boleh?”
“nggak tau, katanya yang tau kemampuan kita ya kita sendiri. Menurutku bener juga”.
“ya, belum tentu. Buktinya aku belum tau, makanya pengen ikut. Eh, ya tempatmu tak ganti aja?!”
“hah, emang boleh?”
“ya bolehlah. Mesti kan yang penting ada orangnya. Jadi kalau dibatalin, ada gantinya”.
“wah, iya juga ya! yang bener May? Kamu mau ngganti?”
“iya, nggak papa. Tapi, aku ngomong bapak-ibuku dulu ya, boleh nggak?!”
“Alhamdulillah.. oke siap, nanti sms ya, boleh nggak”.
“oke”.
“yaudah, tak pulang dulu ya.. Assalamu’alaikum..”
“wa’alaikumsalam...”
* * *
Malam harinya, Kara segera sms Maya.
May, gimana boleh nggak? Jadi ikut tes psikologikah? J
Selang beberapa menit, HP Kara berdering. Maya membalas.
Boleh boleh aja sih Kar. Tapi, masalahnya ortu lagi nggak ada duit. Tapi, nggak papa, besok aku bisa ambil tabungan kok”.
* * *
Akhirnya tanggal 10 desember, usai UAS, Maya mendaftarkan diri ke bu Azizah, selaku panitia tes psikologi. Dan Kara memberitahu bu Azizah bahwasanya ia digantikan Maya.
“boleh kan bu?”, tanya Kara
“iya, boleh. Ibu catat dulu ya”, Bu Azizahpun mencatatnya di halaman paling belakang buku kwitansi.
      Subhanallah walhamdulillaaah.. inilah cara Allah menjawab semuanya. Tentu saja ini bukan sebuah kebetulan. Jika Allah berkehendak, pasti Kara udah ndaftar dari kemarin. Tapi, nyatanya ada Kara yang menggantikanku.. Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah... bisik Kara dalam hati penuh kesyukuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Bunga pada Daun yang tlah gugur

Bapak, baru saja aku membaca ulang tulisanku sendiri, dan aku menangis. Ya, ternyata terakhir aku menulis tulisan tentang Bapak berjudul ...